Tentang
kehilangan yang secara tiba-tiba…
Tentang
mengikhlaskan yang terlanjur pergi…
Tentang
perpisahan tanpa pesan terakhir…
“Hah? Serius?”
“Anak pindahan darimana?”
“Kan udah ada dua anak
pindahan, masa lagi sih? Huh!”
Kelas sangat ribut
sedari tadi. Isu akan adanya seorang anak baru, entah mengapa tiba-tiba membuat
kelas menjadi rusuh. Cuma anak baru
doang, heboh banget. Aku membenci keributan. Kesunyian lebih baik. Aku
memang lebih suka sendiri dan menyepi. Seperti sekarang, hanya aku perempuan di
kelas ini yang duduk di pojok belakang kelas. Duduk sendiri, tanpa teman
sebangku.
Seorang wanita setengah
baya masuk ke dalam kelas, si anak baru mengekori
wali kelasku itu. Semua murid di kelas diam. Anak baru itu laki-laki. Tinggi
badannya hampir sama denganku. Tubuhnya tegap, kulitnya sawo matang. Wajahnya
terbilang tampan. Dia sedang memperkenalkan dirinya, tapi aku tidak
mendengarkan apa yang dia sampaikan. Aku terlalu sibuk memandang... matanya.
Bola matanya cokelat bening dan bersinar. Sangat
indah. Dia berbeda dari yang lainnya. Dia....
“Ya, anak-anak, buka
buku kalian halaman 71...”
Lamunanku buyar. Si anak baru telah hilang dari depan
kelas. Saking seriusnya melamun, aku bahkan tak menyadari kalau dia sudah
duduk... tepat di sampingku.
“Aku
belum dapat buku, boleh pinjam bukumu?”
Suaranya
sedikit mengejutkanku. Aku menggeser bukuku hingga berada di tengah-tengah
meja.
“Daritadi
aku lihat kamu melamun. Kamu pasti nggak dengar aku memperkenalkan diri, ya,”
tebaknya sembari tersenyum tipis.
Aku
tertawa pelan sambil mengangguk.
“Namaku
Sinar,” ucapnya. Dia mengulurkan tangannya.
Sangat sesuai dengan matanya yang juga
bersinar…
Aku membalas uluran
tangan itu. “Mentari.”
**
Bel istirahat baru saja berbunyi,
tetapi teman-teman kelasku sudah hampir semuanya hilang dari kelas dan
bermigrasi ke kantin. Bukan hal mengejutkan, sih. Ini biasa.
“Mentari, kamu bantu Sinar, ya,
untuk mengerjakan tugas yang Ibu berikan tadi. Dia kan belum dapat buku.”
“Iya, Bu,” jawabku. Setelah
mendengar jawabanku, Ibu Guru pergi dari kelas. Dan, tinggalah aku, Sinar, dan
beberapa orang lain―yang memilih menghabiskan jam istirahat nya dengan tertidur
di bangku mereka―yang berada di dalam ruangan itu.
“Kamu
nggak ke kantin?” tanya Sinar.
Aku
menggeleng. “Aku nggak suka kantin. Ramai.”
“Mau
sepi? Ke hutan sana.” Sinar terkekeh pelan. “Eh, pinjam buku soal-nya dong, aku
mau kerjain tugasnya sekarang.”
Aku
menyerahkan bukuku kepada Sinar, tanpa mempedulikan cemoohnya tadi.
“Kamu
emang suka melamun, sendiri, menjauh dari keramaian, dan... duduk di pojokan
gini, ya?”
“Semua
itu menenangkan.” Pandanganku terlempar keluar jendela. “Dari sini aku juga
bisa melihat dengan jelas langit biru. Apalagi kalau matahari lagi cerah. Indah
banget. Tapi sayang, keindahan nya nggak abadi.”
“Kata
siapa? Cahaya matahari abadi kok.”
“Abadi
dari mananya? Dia cuma sesaat. Ketika malam menjelang, pasti cahaya nya
hilang.”
Sinar
menghentikan tugasnya. “Cahaya nya lelah. Jadi, matahari memilih untuk mengistirahatkannya
sejenak.”
“Matahari
kok bisa lelah.” Aku mencibir.
“Bukan
matahari nya, sih, yang lelah.”
“Lalu?”
“Sinar
nya. Dia terlalu lelah untuk membagi dirinya agar bisa menyinari jagat raya.”
Aku
terdiam mendengar ucapan Sinar.
“Tapi
cinta itu pengorbanan, kan? Nah, karena terlalu mencintai semua manusia di bumi
ini, sinar rela mengorbankan dirinya
setiap hari, walau itu melelahkan. Agar manusia nggak kegelapan,” lanjut Sinar.
“Oh,”
jawabku singkat.
Sinar
mengerutkan bibirnya. “Capek-capek ngomong malah dijawab ‘oh’ aja. Dasar
cewek.”
Aku
mengernyit. “Kok nyambung ke cewek?”
“Iya,
cewek kan gitu. Suka banget jawab singkat-singkat. Tapi kalau dia yang di kasih
jawaban singkat, pasti marah. Cewek itu rumit.”
“Termasuk
aku?”
Sinar
menggeleng. “Seperti matahari... kamu itu menarik, bercahaya, dan bersinar. Sesuai dengan namamu, Mentari,”
sahut Sinar.
Aku
tertawa. Kurasakan pipiku bersemu merah. “Kenapa namamu harus Sinar?”
“Kenapa
juga namamu harus Mentari?” tanyanya balik.
Aku
menaikkan bahu.
“Mungkin
kita emang ditakdirkan buat bersatu,” ucapnya. “Ehm, maksudku, karena aku Sinar
dan kamu Mentari jadi Tuhan menakdirkan kita buat bertemu lalu menjadi... teman
baik, mungkin?”
Aku
mengulum senyumku. “Oke. Teman baik.”
Sinar
tersenyum kearahku. Seperti namanya, aku melihat matanya yang lagi-lagi bersinar
memandangku.
Bel
masuk kelas berbunyi tepat ketika aku dan Sinar mengakhiri percakapan kami
siang itu.
**
Hampir
dua bulan berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Sinar. Perjanjian―menjadi
teman baik―antara aku dan Sinar benar-benar kami tepati. Kami menjadi teman
baik. Sangat baik. Aku pun senang berteman dengan Sinar. Dia cerdas. Dia juga
tidak seperti laki-laki seumurannya yang pada umumnya suka mengganggu, usil, jail,
dan sebagainya. Dia menarik. Aku menyukai itu. Aku menyukainya. Ya, suka. Hanya
suka, tidak lebih.
“Kamu
udah selesai buat puisinya?” Sinar melihat buku tulisku. “Kalau udah selesai,
kenapa nggak maju aja? Baca puisimu di depan.”
“Nggak,
ah. Aku malu.”
“Apa
kamu selalu begini?”
“Iya.”
Sinar
menggeleng. “Gimana orang mau tahu kemampuanmu kalau kamu sendiri enggan
menunjukkannya?”
“Percuma
namamu Mentari, kalau kamu nggak berani menunjukkan cahayamu. Kamu mampu
bercahaya, ayolah,” kata Sinar mensupportku.
“Tunjukkan sama Bu Guru dan teman-teman lainnya, kalau Mentari yang pendiam dan
suka menyendiri itu sebenarnya memiliki cahaya yang disimpan rapat-rapat.”
Aku
menggigit bibir bawahku. “Tapi, Sinar...”
“Baca
puisimu ke depan.” Sinar memandangku. Memandang mataku. Dia menyihirku dengan
sinar matanya.
Aku beranjak dari
dudukku dan maju ke depan kelas untuk membaca puisi buatanku.
“Wah, Mentari, kamu mau
membacakan puisimu?” Bu Guru kaget melihatku.
Aku mengangguk.
“Ya, silahkan!”
Sepersekian detik
sebelum aku membaca puisiku, kulihat Sinar tersenyum kearahku. Senyum yang
menyemangatiku. Senyum yang membuatku berani untuk memperlihatkan cahaya ku
kepada orang lain.
Aku mulai membaca puisiku...
Ketika kau hadir
Kukira memang takdir
Kita bertemu untuk jadi satu
Binar matamu yang bersinar
Memberi arti hariku kini
Siratkan kesan penuh pesan
Dunia yang fana terasa bermakna
Kuharap kita ‘kan abadi
Seperti sinar mentari terhadap bumi
Bercahaya hingga waktu yang tak
menentu
Bercahaya hingga ia lelah dan
melemah
“...terima kasih,”
ucapku mengakhiri puisi itu.
Riuh tepuk tangan
teman-teman dan guruku membuat rasa percaya diriku perlahan tumbuh. Benar kata
Sinar, sudah seharusnya aku memperlihatkan cahaya yang kumiliki dan kusimpan
rapat selama ini kepada orang lain.
“Mentari...”
Aku menoleh. “Iya, Bu?”
“Boleh Ibu minta satu
hal, tidak?”
“Apa, Bu?”
“Tolong kirimkan
puisimu ke redaksi majalah sekolah kita, Ibu ingin lihat puisimu disana,” sahut
guruku. Senyum tergurat di wajahnya yang bulat.
Aku mengangguk senang.
“Baik, Bu,” jawabku mantap. Aku kembali ke bangku, kembali duduk disebelah
Sinar.
Sinar melirikku ketika
aku sudah duduk. “Seperti yang aku katakan, kan...”
“Apa?”
“Kamu tadi berani
menunjukkan cahayamu kepada mereka,” kata Sinar. “Kamu benar-benar bercahaya.
Aku sampai silau melihatmu saat membaca puisi tadi.”
Aku terkekeh. “Bisa
aja.”
“Puisi kamu juga bagus
banget, dapat inspirasi darimana?”
Aku menghembuskan nafas
pelan dan tersenyum tipis. “Dari matahari.”
Juga
dari hadirmu, Sinar...
**
Namaku mulai sering
terpajang di majalah-majalah―mulai dari majalah sekolah sampai majalah
anak-anak―menemani puisiku disana. Semua berawal dari hari itu, hari dimana aku
berani menampakkan cahayaku. Dan benar saja, kini aku merasa lebih menjadi
seorang mentari. Kurasakan cahayaku
benar-benar bersinar. Semua berkat semangat dan dorongan dari orang yang baru
kukenal beberapa bulan ini. Murid baru yang sangat memotivasiku. Murid baru
yang menginspirasiku. Murid baru yang jika namanya digabungkan dengan namaku
maka akan berarti sunshine. Dialah,
Sinar. Sinar yang matanya indah dan penuh binar.
Namun, akhir-akhir ini
aku merasa ada yang berbeda dari Sinar. Dia tak secerah biasanya. Matanya tak
lagi berbinar. Senyumnya tak lagi menyemangatiku. Perubahan ini semakin
kurasakan, ketika Sinar sering absen sekolah. Apa dia sakit?
Hari ini Sinar sekolah
setelah hampir satu minggu tak kulihat sosoknya di sebelahku. Dia berjalan
gontai mendekati bangku nya dan bangku ku. Bangku kami.
“Kemana aja, sih? Lama
banget bolosnya.” Aku memulai pembicaraan. Jujur, aku rindu bertutur sapa
dengan Sinar. Aku merasakan kesunyian ketika dia tidak di sampingku. Padahal dulu,
sebelum aku mengenalnya, aku bahkan tak suka ada orang yang duduk di dekatku.
Kecuali orang itu orang tuaku. Aku membenci orang lain dan keramaian, aku
mencintai kesunyian dan kesendirian. Tapi semua berbalik ketika Sinar hadir di
hari-hariku.
“Ngawur!” Sinar
mendaratkan jitakan kecil di keningku.
“Sakit, Sinar!” Aku
menyergap pergelangan tangan Sinar. Lalu aku tersontak, tangannya panas. “Kamu
sakit?”
“Lho, tadi kan kamu yang bilang sakit.”
“Bukan. Maksudku, kamu
lagi sakit? Tangan kamu panas.”
“Abis megang api,”
candanya. Sinar tertawa renyah. Aku rindu tawa Sinar. Tapi kali ini aku tidak
ikut tertawa. Sinar terlihat pucat, dia benar-benar sakit.
“Kamu sakit apa?”
Sinar terdiam. “Cuma
demam.”
“Beneran?” Aku berusaha
meyakinkan.
Sinar tidak menjawab.
Melainkan mengalihkan pembicaraan kami. “Nanti pulang sekolah kamu ada lomba,
ya?”
Aku mengangguk. “Iya.
Kamu dat―”
“Maaf, aku nggak bisa
datang.”
“Kenapa?” Nada suaraku
menurun.
“Aku mau check-up ke rumah sakit.”
“Katanya cuma demam,
kenapa sampai ke rumah sakit?”
“Demam kalau nggak
ditangani juga bisa jadi parah, kan?”
“Iya, sih...”
Sinar tiba-tiba
menggenggam tanganku. “Kamu harus tetap semangat. Kamu harus menang. Meski
nggak ada aku.”
Aku menangguk.
Kulepaskan genggaman itu. Ada perasaan aneh bersarang dalam hatiku.
**
Lomba baru saja
berakhir. Dua buah piala ada digenggamanku; piala juara 2 membaca puisi dan
piala juara puisi terfavorit. Aku menghampiri kedua orang tuaku dan guru yang
mendampingiku di lomba itu. Mereka menyelamatiku secara bergantian. Tiba-tiba
ditengah kebahagiaan itu, aku teringat Sinar. Dan pada saat yang bersamaan, handphoneku bergetar. Satu panggilan
masuk dari Sinar.
“Halo...”
“Halo,
ini Kak Mentari, ya?” Bukan Sinar. Tetapi suara seorang anak
perempuan.
“I-iya. Ini siapa?”
“Ini
Bintang, Kak. Adiknya Kak Sinar.”
“Oh, adiknya Sinar. Ada
apa, ya?”
“Mmm,
Kak Mentari bisa kesini sekarang nggak?”
“Hah? Kemana?”
“Ke
rumah sakit, Kak.”
“Rumah sakit? Ngapain?”
“Kak
Sinar kritis.”
**
“Sebenarnya Kak Sinar
udah lama sakit. Dia bukan sakit demam. Sejak dua tahun lalu Kak Sinar mengidap
penyakit leukemia. Tapi seperti yang kakak tahu, Kak Sinar itu orang yang
optimis dan kuat banget pendiriannya. Dia nggak gampang nyerah. Buktinya, Kak
Sinar mau rajin berobat. Padahal pengobatannya itu sakit banget.”
“Dia nggak pernah
cerita ke aku tentang ini...”
“Kak Sinar nggak mau
Kak Mentari sedih.”
Bintang dan aku duduk
di depan ruang ICU di dampingi kedua
orang tuaku dan orang tua Sinar. Bintang, adik Sinar satu-satunya yang kini berumur
12 tahun. Dia menceritakan segala tentang Sinar kepadaku. Sinar yang kuat.
Sinar yang tidak mudah menyerah. Dan, Sinar yang redup dibalik cahayanya.
Aku bahkan tak
menghitung berapa air mataku yang menetes sejak tiba di rumah sakit dan melihat
Sinar terbaring lemah dengan infus dan selang-selang di tubuhnya.
“Beberapa hari ini
keadaannya semakin parah. Tadi pagi dia memaksa untuk sekolah. Padahal Tante
udah larang, tapi Sinar tetap keras kepala. Dia bilang mau ketemu kamu sekali
lagi.” Mama Sinar menghapus air mata nya dengan tisu yang ia genggam.
“Aku boleh masuk nggak,
Tan? Aku mau ketemu Sinar.”
“Kita ijin sama dokter
dulu, ya.”
**
Aku bersama orang tua
Sinar dan juga Bintang masuk ke ruangan serba putih itu. Kami menggunakan
pakaian steril, seperti pakaian yang Sinar kenakan.
Ruangan itu sunyi
senyap. Seperti suasana yang kusukai dulu. Tidak ada suara selain suara alat
pendeteksi detak jantung Sinar. Aku mendekati Sinar. Air mataku tak tertahan.
Aku masih tidak menyangka dengan apa yang kulihat saat ini. Sinar, orang yang
membuatku berani bercahaya. Orang yang mengajariku bagaimana menunjukkan
cahaya. Dan orang yang meyakiniku bahwa cahaya ku akan selalu bersinar.
Mata Sinar yang
biasanya indah dan penuh binar, kini tertutup rapat. Bibirnya yang selalu
tersenyum kepadaku, kini mengatup dan pucat. Sinarnya yang biasa menyemangatiku, kini redup tak cerah
sedikitpun.
Apa kamu
sudah benar-benar lelah, Sinar? Tapi kenapa kamu nggak meninggalkan sedikitpun
salam perpisahan? Buka matamu, Sinar. Sekali lagi. Sebentar saja.
“Sinar, bangun...,”
lirihku. Aku menangis bagaikan anak kecil yang terpisah dari orang tuanya di
keramaian. Doa terus kupanjatkan dalam hati. Berharap Tuhan membuka mata Sinar.
Mengembalikan cahaya nya seperti dulu.
Namun, suara alat
pendeteksi jantung itu membuatku semakin ketakutan. Takut kehilangan Sinar.
Takut kehilangan dia yang membuatku bercahaya. Aku menggenggam jemari Sinar
dengan erat. Tapi dokter malah menyuruhku dan juga keluarga Sinar untuk keluar
dari ruangan itu.
Aku, orang tuaku, dan
keluarga Sinar berdiri di depan ruang ICU
sembari memanjatkan doa dalam hati masing-masing. Doa terbaik untuk Sinar.
Untuk Sinar yang kami semua sangat cintai. Sekilas aku melihat orang tua Sinar
tak menangis sekencang tangisku, mereka terlihat tegar dan pasrah dengan apa
yang akan terjadi. Mungkin mereka juga sudah mengetahui, bahwa putranya telah
lelah memaksakan sinarnya untuk orang
lain. Bahwa Sinar sudah sepantasnya untuk beristirahat.
Dokter keluar dari
ruangan dimana Sinar berada. Air mataku semakin deras. Rasa takut semakin
menghantuiku. Aku tidak siap mendengar jawaban laki-laki berjas putih itu.
Dokter mengangkat
wajahnya yang sedari tadi menunduk. Dia memandang kami semua dengan tatapan
sedih. Aku benar-benar lemas melihat ekspresi dokter. Aku merasa air mataku
akan benar-benar habis setelah ini.
Kemudian dokter itu
menghembuskan nafas berat sebelum akhirnya dia menggeleng pelan kepada kami
semua.
Aku tidak mendengar ada
yang menangis. Aku hanya merasakan kaki ku lemas. Mataku remang-remang. Air
mataku menetes tak terkendali. Sinarku redup, sinarku hilang. Hingga akhirnya
semua terlihat gelap. Gelap, tanpa sinar setitikpun.
**
Ruangan itu semakin
dekat denganku. Kakiku terasa bergetar ketika aku melangkah masuk ke dalamnya.
Semua yang ada disana tersenyum iba memandangku. Mereka tahu bahwa Sinar telah
tak lagi ada. Mereka tahu bahwa aku-lah orang terdekat Sinar di kelas itu.
Mereka tahu bahwa aku yang paling kehilangan diantara semua yang ada disana.
Aku duduk di bangku ku.
Bangku pojok belakang kelas yang sunyi, sepi, dan hanya ada aku disana. Tak ada
lagi Sinar yang duduk di sebelahku. Tak ada lagi suara yang menyemangatiku. Tak
ada lagi orang yang kuajak berbincang tentang keabadian sinar mentari.
Aku menenggelamkan
wajahku diatas kedua tanganku yang terlipat di atas meja. Aku menangis
sejadi-jadinya. Aku tak bisa mengelak, rasa kehilangan itu masih ada. Rindu
menyeruak di relung hatiku. Semua terasa berbeda tanpa Sinar disini. Semua tak
lagi sama tanpa Sinar bersamaku. Aku tak bisa memungkiri rasa sakit dalam
hatiku. Aku tak mampu menerima kenyataan bahwa Sinar sudah tak lagi ada di
dunia ini. Semua terlalu cepat. Sinar tak seharusnya meninggalkanku secepat
ini. Mungkin Sinar memang lelah. Tapi tak semestinya dia meninggalkanku secara
tiba-tiba. Dia tidak meninggalkan apapun. Salam perpisahan, pesan terakhir,
atau benda yang bisa kujadikan kenangan. Apa
Sinar ingin aku melupakannya setelah dia pergi? Tapi bagaimana mungkin aku
mampu melupakan seseorang yang mengajariku bercahaya...
Aku kembali menangis
ketika bayangan Sinar silih berganti menghantui pikiranku. Sinar menjadi murid
baru, binar cahaya pada mata Sinar, semangat yang Sinar berikan untukku, wajah
pucat Sinar, dan suara pendeteksi jantung yang mengakhiri segala perjuangan
Sinar. Semua terasa sangat nyata.
Andai
aku mampu memutar waktu. Aku ingin bertemu Sinar. Sekali lagi. Aku ingin
melihat senyumnya. Aku ingin memandang sinar indah yang terpancar dari kedua
bola matanya. Aku ingin mengulang semua yang pernah kulalui bersama Sinar. Aku
ingin Sinar kembali, walau hanya sesaat.
Aku mengangkat wajahku
yang sembab dan basah karena air mata. Aku menengok keluar jendela. Di luar tak
cerah sedikitpun. Matahari bersembunyi, cahaya nya tak ada. Awan hitam
menguasai langit. Alam menangis. Hujan membasahi bumi ini.
Aku memejamkan mataku,
berusaha merasakan keberadaan Sinar walau tak mampu kulihat secara nyata.
Benar, aku merasakan itu. Kurasakan sinar matanya yang maya memandangku.
Kurasakan senyum semu nya ia torehkan untukku.
Mataku terbuka
perlahan. Hujan telah hilang. Awan tak lagi hitam. Matahari memunculkan
keindahannya di balik awan putih. Sinarnya
terpancar kearahku. Aku semakin meyakini diriku, bahwa Sinar masih ada.
Sinar,
aku yakin kamu masih ada. Hanya tak bisa kumiliki secara nyata.
-C-