Senin, 22 Desember 2014

[CERPEN] Ingin Seperti Bunda



 Ingin Seperti Bunda

            Diem!” teriakku menghentikan pertanyaan teman-teman yang saling bersahutan. Teriakkanku sedikit menggema di koridor sekolah yang mulai menyepi. “Nanti aku tanyakan sama Bunda. S-sekarang aku pulang dulu.”
            Aku mempercepat langkahku menuju parkiran. Dengan cepat mataku menemukan Pak Odi yang sedang bersandar di pintu mobil. Ia menghampiriku, lantas mengambil alih tas yang kugendong.
            Tanpa suara, aku masuk ke dalam mobil. Duduk sembari memejamkan mata di jok belakang. Sesekali aku mengusap peluh di keningku.
            “Pak.”
            “Em, iya, non?” Pak Odi melirikku melalui spion.
            “Bunda ada di rumah?” Semuanya harus kutanyakan secepatnya pada Bunda. Kalau bisa, siang ini akan kutanyakan. Aku bosan dengan pertanyaan teman-teman mengenai Bunda yang tidak pernah seperti orang tua lain. Tidak pernah ke sekolahku, tidak pernah hadir dalam rapat orang tua, selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan yang paling aku sebalkan... semua ini membuat teman-teman berpikir kalau aku tidak punya siapa-siapa! Apalagi keberadaan Ayah yang... ah, entah dimana dia.
            Pokoknya aku harus segera menanyakan pada Bunda. Aku tidak mau menyimpan tanda tanya lebih lama lagi. Lagipula, aku memang berhak tahu.
            “Belum pulang, non,” jawab Pak Odi memupuskan harapan siangku.
**
            Bundaku seorang entertainer yang baru mengepakkan sayapnya. Dalam sehari, ia dapat tampil hingga tiga kali di layar kaca. Keseringan Bunda tampil sebagai seorang host atau beberapa kali menjadi bintang Film Televisi. Sebelum menjadi seperti sekarang, Bunda dulunya pekerja serabutan yang lebih sering menghabiskan waktu di tempat-tempat kerjanya dibanding di rumah bersamaku.  
            Setelah hampir enam jam aku menunggu kepulangan Bunda, deru mobil yang memasuki pekarangan rumah membuat kakiku refleks berlari menuju pintu utama. Seorang wanita berambut ikal sepunggung keluar dari mobil.
            “Reva mau nanya sesuatu, Bun,” kataku tanpa basa basi. Aku mengekori Bunda yang berjalan menuju kamarnya. “Sekarang kan Reva udah kelas empat, Bun..., jadi, Reva udah boleh tahu kan tentang―”
            “Re, Bunda baru pulang,” ucapnya sambil melepas heels. “Bunda mau istirahat dulu. Besok kan hari minggu, kita ngobrol besok aja, ya.”
            “Tapi―”
            “Bunda capek, mau istirahat.” Ia menggiringku keluar kamarnya. Lantas menutup pintu tanpa peduli aku yang masih berdiri tanpa mau beranjak.
**
            Suara dentingan sendok dengan cangkir kudengar dari arah dapur. Sambil menguap pelan, aku berjalan menuju dapur. Masih dengan pakaian santainya Bunda nampak sedang membuat secangkir teh. Secangkir saja. Kalau aku ingin, pasti Bunda akan menyuruhku untuk membuat sendiri.
            Biar mandiri, katanya selalu.
            “Bun, pertanyaan Reva yang kemarin... gimana?” tanyaku sembari mengambil sekaleng coke dari kulkas, tapi tangan Bunda menahan tanganku. “Kenapa?”
            “Masih pagi jangan minum soda.”
            Aku melengos. Menuruti saja perintahnya. Aku beralih menuju rak gelas, mengambil satu, lantas mengisinya dengan air putih.
            “Pertanyaan apa, ya?” Bunda balik bertanya. Ia memandangku yang sedang menegak habis air dalam gelasku.
            Aku menggenggam erat gelas yang masih kupegang. Kutatap sebentar Bunda, berharap dia ‘kan menjawabnya kali ini. “A-ayah...”
            Bunda berdeham. “Jam sembilan Bunda ada kerjaan,” katanya seraya meninggalkan dapur. Namun, tangan kecilku lebih cepat dari langkah Bunda. Kutahan ia sebentar. Bunda menoleh padaku yang menampilkan wajah memelas.
            “Jangan kerja,” kataku polos. “Reva mau ngobrol sama Bunda.”
            “Kita bisa ngobrol lain kali.”
            “Bunda selalu bilang gitu. Kapan? Lain kalinya itu kapan? Bunda nggak pernah ada waktu buat Reva,” ujarku lantas menjatuhkan bokong di atas sofa ruang tengah. Bunda menyusulku.
            “Apa yang mau kamu obrolin, hm?” Tatapannya menghunjamku.
            “Banyak. Banyak hal yang Reva nggak tahu dari Bunda Reva sendiri,” jawabku membalas tatapannya. “Bunda nggak pernah seperti orang tua Reva yang lain... Reva capek ditanya sama teman-teman di sekolah. Apalagi....,” aku terdiam sejenak. “Ayah yang Reva nggak tahu siapa. Nama Ayah yang kosong di rapor maupun data Reva yang lainnya. Reva capek ditanya sama teman-teman, Bun.”
            “Didiamkan saja teman-teman kayak gitu, Re―”
            “Nggak bisa, Bunda!” Suaraku meninggi. “Bunda kira itu semua mudah? Reva―Re-reva malu, Bun,” suaraku merendah di akhir kalimat.
            Bunda tertegun. Cukup lama. Wajahnya antara kaget dan... sungguh tak terbaca. Sampai akhirnya dia memandangku dengan senyuman yang entah kapan terakhir aku melihatnya. Senyuman yang lantas berubah sinis dan terlihat sedih.
            Sedih? 
            “Kamu capek dengan pertanyaan-pertanyaan mereka? Kamu capek dengan Bunda yang nggak pernah memperlakukan kamu seperti orang tua lain, hm?”
            Aku mengangguk.
            “Kamu malu dengan keadaan kita yang tidak seperti keluarga lain? Kamu malu memiliki satu orang tua saja?”
            Aku menggeleng cepat. “Bukan gitu maksud Reva, Bun...”
            “Bunda ngerti,” ia tersenyum lembut. “Mana lebih capek...,” matanya nampak menerawang. “Selama bertahun-tahun hidup dengan pertanyaan yang sama dari orang sekitar, pertanyaan yang hanya bikin sakit hati, pertanyaan yang menggoyahkan keyakinanmu untuk tetap menjaga orang yang kamu sayang... Dan mana lebih malu...,” satu kedipan menghancurkan pertahanan Bunda. Air mata membanjiri pipinya. “Memiliki anak di luar ikatan pernikahan?”
            Aku membatu. Berusaha mencerna yang Bunda ucapkan. Otakku mendadak tak berfungsi. Aku tiba-tiba bodoh.
            “B-bun...”
            “Astaga, apa yang sudah kukatakan!” Bunda menggeram pelan sembari mengusap air matanya kasar. “Re, Bunda nggak bermaksud―”
            Aku berhambur ke pelukan Bunda, menangis tersedu-sedu. “Bunda, maafin Reva... Reva nggak tahu seberapa besar pengorbanan Bunda buat Reva... Reva minta maaf, Bun. Maaf Reva belum membalas semua yang sudah Bunda korbankan untuk Reva. Ke-kenapa Bunda nggak cerita dari dulu? Kenapa Bunda nggak bilang kalau Reva ini anak―”
            “Ssst! Udahlah, Re,” Bunda mengeratkan pelukannya. Dagunya ia letakkan di puncak kepalaku. “Kamu nggak perlu tahu semua ini. Yang perlu kamu tahu hanya kenyataan bahwa Bunda sayang banget sama kamu. Bunda jarang di rumah karena Bunda mau biayain kamu semampu Bunda... Bunda ingin kamu bahagia... Bunda mau kamu sukses... Bunda ingin membuktikan pada mereka, kalau kamu, Re, bisa sehebat anak-anak lain.”
            “Bundaaa...,” air mataku sungguh tidak bisa kutahan. “Reva juga sayang banget sama Bunda. Reva nggak tahu gimana balas semua ini... Pertanyaan-pertanyaan teman Reva nggak sebanding kan dengan pertanyaan orang-orang di sekitar Bunda dulu? Semalu-malunya Reva nggak punya Ayah, pasti lebih malu Bunda dulu waktu mengandung Reva, kan? Bunda nggak menyesal kan punya anak kayak Reva?”
            “Nggak, Sayang...,” ujar Bunda dengan suara serak menahan air matanya yang kesekian. “Bunda nggak pernah dan nggak akan pernah menyesal punya anak kayak Reva.”
            “Reva janji akan membalas semua pengorbanan Bunda―”
            “Re... Udahlah, nggak usah dibahas.”
            “Kenapa Bunda?” tanyaku tak mengerti.
            “Pengorbanan bukan lagi pengorbanan jika ia diucapkan. Pengorbanan itu keikhlasan. Bunda melakukan semua ini untuk kamu. Bunda ikhlas. Nggak usah dibahas, Sayang...”
            Bagaimana mungkin aku tidak bahagia... Memiliki seorang ibu seperti Bunda. Yang tak ingin pengorbanan besarnya kusebut pengorbanan. Yang ikhlas melakukan segalanya untukku. Aku yakin setiap anak pasti beruntung memiliki ibunya. Tapi aku lebih yakin kalau aku yang paling beruntung, memiliki Bunda yang mengagumkan. Tidak hanya fisiknya, pun hatinya. Tidak hanya di layar kaca, juga di dunia nyata.
            “Reva janji nggak akan peduliin ucapan teman-teman lagi... Reva mau hebat..., seperti Bunda.”
 **
diikutsertakan pada #GASHariIbu oleh 

2 komentar: