Ingin Seperti Bunda
“Diem!” teriakku menghentikan pertanyaan
teman-teman yang saling bersahutan. Teriakkanku sedikit menggema di koridor
sekolah yang mulai menyepi. “Nanti aku tanyakan sama Bunda. S-sekarang aku
pulang dulu.”
Aku mempercepat langkahku menuju
parkiran. Dengan cepat mataku menemukan Pak Odi yang sedang bersandar di pintu
mobil. Ia menghampiriku, lantas mengambil alih tas yang kugendong.
Tanpa
suara, aku masuk ke dalam mobil. Duduk sembari memejamkan mata di jok belakang.
Sesekali aku mengusap peluh di keningku.
“Pak.”
“Em,
iya, non?” Pak Odi melirikku melalui spion.
“Bunda
ada di rumah?” Semuanya harus kutanyakan secepatnya pada Bunda. Kalau bisa,
siang ini akan kutanyakan. Aku bosan dengan pertanyaan teman-teman mengenai
Bunda yang tidak pernah seperti orang tua lain. Tidak pernah ke sekolahku,
tidak pernah hadir dalam rapat orang tua, selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan
yang paling aku sebalkan... semua ini membuat teman-teman berpikir kalau aku
tidak punya siapa-siapa! Apalagi keberadaan Ayah yang... ah, entah dimana dia.
Pokoknya
aku harus segera menanyakan pada Bunda. Aku tidak mau menyimpan tanda tanya
lebih lama lagi. Lagipula, aku memang berhak tahu.
“Belum
pulang, non,” jawab Pak Odi memupuskan harapan siangku.
**
Bundaku
seorang entertainer yang baru
mengepakkan sayapnya. Dalam sehari, ia dapat tampil hingga tiga kali di layar
kaca. Keseringan Bunda tampil sebagai seorang host atau beberapa kali menjadi bintang Film Televisi. Sebelum
menjadi seperti sekarang, Bunda dulunya pekerja serabutan yang lebih sering
menghabiskan waktu di tempat-tempat kerjanya dibanding di rumah bersamaku.
Setelah
hampir enam jam aku menunggu kepulangan Bunda, deru mobil yang memasuki
pekarangan rumah membuat kakiku refleks berlari menuju pintu utama. Seorang
wanita berambut ikal sepunggung keluar dari mobil.
“Reva
mau nanya sesuatu, Bun,” kataku tanpa basa basi. Aku mengekori Bunda yang berjalan
menuju kamarnya. “Sekarang kan Reva udah kelas empat, Bun..., jadi, Reva udah
boleh tahu kan tentang―”
“Re,
Bunda baru pulang,” ucapnya sambil melepas heels.
“Bunda mau istirahat dulu. Besok kan hari minggu, kita ngobrol besok aja, ya.”
“Tapi―”
“Bunda
capek, mau istirahat.” Ia menggiringku keluar kamarnya. Lantas menutup pintu
tanpa peduli aku yang masih berdiri tanpa mau beranjak.
**
Suara
dentingan sendok dengan cangkir kudengar dari arah dapur. Sambil menguap pelan,
aku berjalan menuju dapur. Masih dengan pakaian santainya Bunda nampak sedang
membuat secangkir teh. Secangkir saja. Kalau aku ingin, pasti Bunda akan
menyuruhku untuk membuat sendiri.
Biar
mandiri, katanya selalu.
“Bun,
pertanyaan Reva yang kemarin... gimana?” tanyaku sembari mengambil sekaleng coke dari kulkas, tapi tangan Bunda
menahan tanganku. “Kenapa?”
“Masih
pagi jangan minum soda.”
Aku
melengos. Menuruti saja perintahnya. Aku beralih menuju rak gelas, mengambil
satu, lantas mengisinya dengan air putih.
“Pertanyaan
apa, ya?” Bunda balik bertanya. Ia memandangku yang sedang menegak habis air
dalam gelasku.
Aku
menggenggam erat gelas yang masih kupegang. Kutatap sebentar Bunda, berharap
dia ‘kan menjawabnya kali ini. “A-ayah...”
Bunda
berdeham. “Jam sembilan Bunda ada kerjaan,” katanya seraya meninggalkan dapur.
Namun, tangan kecilku lebih cepat dari langkah Bunda. Kutahan ia sebentar.
Bunda menoleh padaku yang menampilkan wajah memelas.
“Jangan
kerja,” kataku polos. “Reva mau ngobrol sama Bunda.”
“Kita
bisa ngobrol lain kali.”
“Bunda
selalu bilang gitu. Kapan? Lain kalinya itu kapan? Bunda nggak pernah ada waktu
buat Reva,” ujarku lantas menjatuhkan bokong di atas sofa ruang tengah. Bunda
menyusulku.
“Apa
yang mau kamu obrolin, hm?” Tatapannya menghunjamku.
“Banyak.
Banyak hal yang Reva nggak tahu dari Bunda Reva sendiri,” jawabku membalas
tatapannya. “Bunda nggak pernah seperti orang tua Reva yang lain... Reva capek
ditanya sama teman-teman di sekolah. Apalagi....,” aku terdiam sejenak. “Ayah
yang Reva nggak tahu siapa. Nama Ayah yang kosong di rapor maupun data Reva
yang lainnya. Reva capek ditanya sama teman-teman, Bun.”
“Didiamkan
saja teman-teman kayak gitu, Re―”
“Nggak
bisa, Bunda!” Suaraku meninggi. “Bunda kira itu semua mudah? Reva―Re-reva malu,
Bun,” suaraku merendah di akhir kalimat.
Bunda
tertegun. Cukup lama. Wajahnya antara kaget dan... sungguh tak terbaca. Sampai
akhirnya dia memandangku dengan senyuman yang entah kapan terakhir aku
melihatnya. Senyuman yang lantas berubah sinis dan terlihat sedih.
Sedih?
“Kamu
capek dengan pertanyaan-pertanyaan mereka? Kamu capek dengan Bunda yang nggak
pernah memperlakukan kamu seperti orang tua lain, hm?”
Aku
mengangguk.
“Kamu
malu dengan keadaan kita yang tidak seperti keluarga lain? Kamu malu memiliki
satu orang tua saja?”
Aku
menggeleng cepat. “Bukan gitu maksud Reva, Bun...”
“Bunda
ngerti,” ia tersenyum lembut. “Mana lebih capek...,” matanya nampak menerawang.
“Selama bertahun-tahun hidup dengan pertanyaan yang sama dari orang sekitar,
pertanyaan yang hanya bikin sakit hati, pertanyaan yang menggoyahkan
keyakinanmu untuk tetap menjaga orang yang kamu sayang... Dan mana lebih
malu...,” satu kedipan menghancurkan pertahanan Bunda. Air mata membanjiri
pipinya. “Memiliki anak di luar ikatan pernikahan?”
Aku
membatu. Berusaha mencerna yang Bunda ucapkan. Otakku mendadak tak berfungsi. Aku
tiba-tiba bodoh.
“B-bun...”
“Astaga,
apa yang sudah kukatakan!” Bunda menggeram pelan sembari mengusap air matanya
kasar. “Re, Bunda nggak bermaksud―”
Aku
berhambur ke pelukan Bunda, menangis tersedu-sedu. “Bunda, maafin Reva... Reva
nggak tahu seberapa besar pengorbanan Bunda buat Reva... Reva minta maaf, Bun.
Maaf Reva belum membalas semua yang sudah Bunda korbankan untuk Reva. Ke-kenapa
Bunda nggak cerita dari dulu? Kenapa Bunda nggak bilang kalau Reva ini anak―”
“Ssst!
Udahlah, Re,” Bunda mengeratkan pelukannya. Dagunya ia letakkan di puncak
kepalaku. “Kamu nggak perlu tahu semua ini. Yang perlu kamu tahu hanya
kenyataan bahwa Bunda sayang banget sama kamu. Bunda jarang di rumah karena
Bunda mau biayain kamu semampu Bunda... Bunda ingin kamu bahagia... Bunda mau
kamu sukses... Bunda ingin membuktikan pada mereka,
kalau kamu, Re, bisa sehebat anak-anak lain.”
“Bundaaa...,”
air mataku sungguh tidak bisa kutahan. “Reva juga sayang banget sama Bunda.
Reva nggak tahu gimana balas semua ini... Pertanyaan-pertanyaan teman Reva
nggak sebanding kan dengan pertanyaan orang-orang di sekitar Bunda dulu? Semalu-malunya
Reva nggak punya Ayah, pasti lebih malu Bunda dulu waktu mengandung Reva, kan?
Bunda nggak menyesal kan punya anak kayak Reva?”
“Nggak,
Sayang...,” ujar Bunda dengan suara serak menahan air matanya yang kesekian. “Bunda
nggak pernah dan nggak akan pernah menyesal punya anak kayak Reva.”
“Reva
janji akan membalas semua pengorbanan Bunda―”
“Re...
Udahlah, nggak usah dibahas.”
“Kenapa
Bunda?” tanyaku tak mengerti.
“Pengorbanan
bukan lagi pengorbanan jika ia diucapkan. Pengorbanan itu keikhlasan. Bunda
melakukan semua ini untuk kamu. Bunda ikhlas. Nggak usah dibahas, Sayang...”
Bagaimana
mungkin aku tidak bahagia... Memiliki seorang ibu seperti Bunda. Yang tak ingin
pengorbanan besarnya kusebut pengorbanan. Yang ikhlas melakukan segalanya
untukku. Aku yakin setiap anak pasti beruntung memiliki ibunya. Tapi aku lebih
yakin kalau aku yang paling beruntung, memiliki Bunda yang mengagumkan. Tidak
hanya fisiknya, pun hatinya. Tidak hanya di layar kaca, juga di dunia nyata.
“Reva
janji nggak akan peduliin ucapan teman-teman lagi... Reva mau hebat..., seperti
Bunda.”
**
diikutsertakan pada #GASHariIbu oleh @secondhandz