“Kenapa kamu disini? Ini kan ruang
kelasku.” Kupandang laki-laki di hadapanku ini dengan perasaan campur-aduk. Aku
senang, aku bahagia, aku terharu, ingin menangis, ingin memeluk. Tapi aku
teringat sesuatu. “Aku harus pulang sekarang,” kataku dengan air mata yang
menggenang. Dadaku sesak, hatiku sakit. Rasanya tak rela untuk meninggalkannya.
Dia tersenyum. Senyum manis yang
tak terkalahkan oleh siapa pun. Aku terenyah. Kurasakan kehangatan tatapan mata
dan senyumnya menjalar keseluruh tubuhku. Aku merasakan apa yang tak bisa
kurasakan selama dua tahun terakhir.
“Iya, hati-hati, ya,” jawabnya.
Senyum itu terus terukir di wajahnya.
Aku
mengangguk seraya melambaikan tangan. Aku melangkah, menjauh, meninggalkannya.
Tapi tiba-tiba hatiku bergejolak ingin kembali. Namun, naas. Kakiku terus
melangkah menjauh tak terkendali. Kupandangi dia yang masih tersenyum sembari
melambaikan tangan kearahku. Senyumnya. Tatapannya. Aku tak tahan. Aku ingin
menghampiri dan memeluknya, meski sesaat. Tanpa daya, aku berusaha melawan
walau kutahu itu akan sia-sia. Kakiku terus melangkah. Tubuhnya terlihat
semakin mengecil. Jarak kami semakin jauh. Air mataku mulai berjatuhan
membasahi pipi.
Jauh...
Semakin jauh...
Sangat jauh...
“Argghh!”
Mataku terbuka cepat. Nafasku terengah-engah. Pipiku basah oleh air mata dan
keringat yang bercucuran. “Cuma mimpi, sialan!”
Aku
mengerjapkan beberapa kali mataku. Jam dinding menunjukkan pukul 3 dini hari. Jadi, semua itu hanya mimpi? Aku hanya bertemu dengan dia dalam mimpi? Tanpa
dikomando, air mataku kembali jatuh. Aku menenggelamkan wajahku di bawah
bantal. Semua terasa nyata. Mimpi tadi terus menghantui pikiranku. Wajahmu.
Senyummu. Kilauan bola matamu. Semua terasa seperti aku sedang benar-benar
memandangmu secara nyata.
Otakku
seperti bioskop yang secara tiba-tiba memutar semua film lama tentang kita.
Mulai dari kita yang sedang bersama di ruang kelas penuh mainan dan anak-anak
lain yang berlarian. Berlanjut ketika kita duduk di hadapan papan tulis putih
dengan tulisan ‘Ini budi’. Semua tak bisa berhenti. Film itu terus dan terus
berlanjut, hingga nyaris mencapai episode terakhirnya. Saat itu kita sedang
duduk, berkumpul bersama dengan semua teman-teman dan beberapa guru. Guru
dengan wajah paling tegas berdiri di depan kita, memegang mic dan sebuah kertas. Guru tersebut membenahi letak kaca matanya.
Lalu berkata kepada kita semua, “Semua LULUS.” Kudengar semua berteriak.
Tertawa. Saling memeluk. Bahkan menangis. Tak terbesit apa pun di benakku saat
itu. Tak terpikir bahwa akan ada kabar baik yang menjelma menjadi kabar buruk.
Yang aku tahu hanya, kita semua bahagia. Aku bahagia, kamu bahagia, teman-teman
bahagia, dan guru-guru bahagia.
Film
itu semakin cepat berlanjut. Saat itu aku, kamu, dan teman-teman kita; menanti
sebuah pengumuman lain. Dimanakah kita akan melanjutkan perjalanan hidup
selanjutnya? Beberapa menit berselang, kulihat namaku terpajang di sebuah
kertas milik sebuah sekolah menengah yang berisi kumpulan nama-nama siswa yang
diterima di sekolah tersebut. Sungguh, aku senang. Benar-benar senang. Tapi
kesenangan itu tak lama. Semua sirna ketika kusadari tiada namamu disana. Tuhan, apa benar-benar aku harus berpisah
dengannya? Tidakkah ada jalan lain? Tuhan, kumohon...
Aku
tersentak. Tersadar dari lamunanku. Kembali wajahmu itu terbayang dalam otakku.
Kamu. Iya, kamu. Cinta pertamaku.
Betapa
aku iri dengan mereka yang masih bisa bertemu dengan orang yang selalu hadir
dalam mimpi mereka. Tak terbendung jumlah cacian dalam hatiku ketika melihat
mereka yang bisa ada dalam harimu. Kenapa
mereka? Kenapa bukan aku?
Hatiku
sakit. Hatiku menangis. Kenapa harus kita
yang berpisah? Semua terasa terlalu cepat berlalu. Delapan tahun saling
mengenal terasa percuma ketika kita harus berpisah hanya karena hal kecil ini.
Aku
tahu, ini semua salahku. Aku tahu! Aku yang memilih meninggalkanmu. Aku yang
mengambil keputusan bahwa kita memang harus berpisah.
Andai
bisa kuputar waktu. Inginku bisa bertemu denganmu lagi. Bertemu dalam wujud
kita yang sekarang. Kamu yang telah tumbuh menjadi seorang remaja menarik dan
tampan. Tapi bukan, bukan karena itu aku ingin kaukembali ke hidupku. Tak ada
banyak alasan mengapa aku ingin kita kembali bersama. Hanya karena aku masih
menyayangimu. Hanya karena kamu satu-satunya orang yang mampu membuatku
terbangun disaat yang lain terlelap. Hanya karena kamu-lah yang bisa membuatku
menangis ketika kauhadir dalam mimpiku. Iya, kamu. Cinta pertamaku.
Aku
merindukanmu. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Kuharap, kita ‘kan bisa
bertemu lagi. Nanti. Ketika kedewasaan telah menguasai kita. Ketika kita telah
bisa menghapus rasa kecewa masing-masing akibat perpisahan kita dulu.
Kamu, cinta
pertamaku, yang selalu hadir dalam mimpi indah maupun burukku. Aku disini,
selalu mengingatmu. Selalu menyimpan rasa untukmu.
-C-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar