Cerita I (dengan dialog):
Laki-laki dengan jaket
“22” di punggungnya itu memandang sebuah alat yang menempel di tembok. Menunggu
wajahnya terscan, dan sebuah suara terimakasih terdengar. Kemudian ia melangkah
menuju kelas yang terletak di lantai dua. Berjalan lurus, tanpa sekalipun
menyapa orang-orang yang berlalu-lalang. Sifat cueknya ternyata masih sama
sejak dulu.
“Woi, bengong aja,
buruan gih absen, banyak yang ngantri!”
Aku tersadar dari
lamunan singkatku pagi ini. “Eh, iya, maaf-maaf.” Segera kudekatkan wajah
dengan scanner di depanku. Setelah
terdengar terimakasih dari alat itu,
aku langsung setengah berlari meninggalkan tempat tersebut.
“Tisha!”
“Eh, Faya,” katanya seraya
memasukkan telepon genggam kedalam saku. “Oh ya, lo gimana sama Wipra?”
tanyanya, tiba-tiba. Aneh.
“Ada apa memangnya?” Aku
mengernyit. “Kami udah nggak sedekat dulu lagi. Dia cuek banget
sekarang. Gue capek menghubungi dia duluan!”
“Bagus deh,” gumamnya.
“Hah?”
Tisha melangkahkan
kakinya menapaki tangga mendahuluiku. Tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya
lagi. Setelah memasuki kelas, juga meletakkan tas, aku dan Tisha pergi ke salah
satu sudut teras kelas. Sedangkan Wipra, duduk santai di sudut lainnya.
“Mungkin dia punya
gebetan lain kali,” Tisha mulai berbicara lagi. “Ganti gebetan aja, Fay. Banyak
kok yang keren disini. Lo nggak bosen apa dua tahun ngegebet dia?” Nadanya
terdengar sinis.
“Tis?” Aku menatapnya,
heran. “Emang kenapa? Ada yang salah? Elo nggak biasanya mempermasalahkan ini.”
“Semalem gue putus sama
Putra.”
“Lalu?”
“Gue curhat semalaman
sama Wipra. Orangnya asyik juga ternyata. Pantas aja lo suka,” dia terkekeh.
“Setahun gue sahabatan sama dia, baru kali ini kita telponan sampai malam.
Biasanya paling chat doang.”
“Eh, lo nggak cemburu,
kan? Lo belum pacaran kan sama dia? Jadi, gue nggak salah, kan?” lanjut Tisha.
Aku menggeleng pelan.
Memaksa tersenyum. “Lo nggak salah.”
“Ya udah, gue mau ke
Wipra dulu, mau lanjutin cerita semalam. Bye!”
Aku masih terkesiap. Mataku
mengerjap, memandang lelaki dua puluh duaku
bersama Tisha, sahabatku.
**
Cerita II (narasi saja):
Laki-laki dengan jaket
“22” di punggungnya itu memandang sebuah alat yang menempel di tembok. Menunggu
wajahnya terscan, hingga sebuah suara
terimakasih terdengar. Kemudian ia
melangkah menuju kelas yang terletak di lantai dua. Berjalan lurus, tanpa
sekalipun menyapa orang-orang yang berlalu-lalang. Sifat cueknya ternyata masih
sama sejak dulu.
Seseorang menegurku
hingga aku tersadar dari lamunan singkatku pagi ini. Setelah meminta maaf pada
antrian panjang yang diakibatkan olehku, aku segera berlari meninggalkan tempat
tersebut.
Perjalananku menuju
kelas tidak sendiri. Ada Tisha yang juga baru datang. Aku menyapanya. Gadis itu
memasukkan telepon genggamnya ke saku ketika membalas sapaanku. Dan tiba-tiba,
tanpa ada basa-basi di antara kami, ia bertanya tentang Wipra. Laki-laki yang
kusukai dua tahun terakhir ini.
Aku menyadari sesuatu;
ada yang tidak biasa pada nada suaranya. Sinis.
Tisha melangkahkan
kakinya menapaki tangga mendahuluiku. Tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya
lagi. Setelah memasuki kelas, juga meletakkan tas, aku dan Tisha pergi ke salah
satu sudut teras kelas. Sedangkan Wipra, duduk santai di sudut lainnya.
Sahabatku ini mulai
berbicara lagi. Atas perkataanku tadi, Tisha berasumsi kalau Wipra sudah
menyukai orang lain. Awalnya aku terdiam dengan ucapannya yang menurutku sangat
aneh, juga tumben. Namun, nada sinis juga permintaannya agar aku menyukai orang
lain―bukan Wipra―membuatku benar-benar merasa ada yang aneh. Tidak biasanya
Tisha seperti ini; mempermasalahkan perasaanku terhadap Wipra.
Hingga akhirnya sebuah
perkataan terlontar dari mulut Tisha. Tentang hubungannya yang telah berakhir
dengan Putra, tentang Wipra yang asyik―juga kedekatan mereka sekarang.
Seperti ada yang
menghunjam, hatiku sakit.
Aku memaksa tersenyum
ketika Tisha ‘menyadarkanku’ kalau aku bukan siapa-siapa lelaki bertubuh
jangkung itu. Memang, Tisha benar. Aku bukan siapa-siapa Wipra. Bukan masalah
jika Tisha kini dekat dengannya.
Tisha kemudian
meninggalkanku untuk melanjutkan ceritanya yang tertunda dengan Wipra semalam.
Ini bukan mimpi.
Kukerjapkan mataku, memandang lelaki dua
puluh duaku bersama Tisha, sahabatku.
**
#narasiVSdialog
-C-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar