Rabu, 02 Juli 2014

Secrets...


"Happy anniversarry, Drey," kata Alvin sambil mengecup kening gadis di hadapannya. 
            Audrey menunduk selama beberapa saat. Kemudian dengan helaan napas berat, ia menatap Alvin. Senyum paksa terukir jelas di wajahnya. “Thanks, ya, Vin.”
            Kening Alvin berkerut. “Untuk?”
            “Ng―untuk semua yang udah lo kasih ke gue selama ini.”
            “Nggak perlu bilang makasih kali, Drey... Gue tulus kok,” jawab Alvin.
            Maafin gue, Vin...
**
            Hujan masih membasahi tanah Jogja sejak seperempat jam yang lalu. Audrey berdiri sendiri di bawah halte yang atapnya mulai bocor. Sesekali Audrey berpindah tempat untuk menghindari tetes air. Tubuhnya sudah menggigil, ia tak ingin tambah kedinginan lagi.
            Drrtt... drttt...
            Audrey melirik handphone-nya. Sebuah panggilan dari Alvin. Ini merupakan panggilan ketujuhnya selama dua jam terakhir.
            “Ya?”
            Drey, lo masih di halte depan kampus? Gue jemput aja, ya? Hujannya nanti tambah deras, lho...”
            Audrey memandang kanan-kiri. Tidak ada tanda-tanda kendaraan umum yang datang. Tapi, dia tidak mungkin dijemput Alvin... Karena hari ini adalah jadwal Audrey untuk pergi ke tempat itu.
            Drey? Halo, Audrey?
            “Eh, Vin, ng-nggak usah... Ini busnya udah ada kok, gue tutup telponnya, ya. Nanti sampai rumah gue telepon lagi, bye.”
            Klik! Tombol merah tersentuh oleh jempol Audrey. Panggilan Alvin terputus begitu saja.
            Entah kenapa, mata Audrey terasa panas tiba-tiba. Ada pedih dalam hatinya. Sesak. Ingin berteriak. Audrey sudah tidak sanggup lagi.
            Sebuah bus kota berhenti tepat didepan halte tempat Audrey berdiri. Gadis berambut hitam tersebut segera masuk kedalam bus. Berhubung tidak ada penumpang lain, bus segera berangkat setelah sepuluh menit berhenti.
**
            “Nan, aku nggak bisa kayak gini terus... Aku capek menyimpan ini semua sendirian...” Seorang gadis bersimpuh didekat makam sambil menggenggam sebuket bunga tulip ungu. Sesekali ia menghapus air matanya yang semakin deras. Gerimis membantu menyamarkan air mata itu. Audrey bersyukur karena hujan tak sepenuhnya berhenti.
            “Nanta... Kamu dengar aku, kan? Aku capek bersandiwara, Nan... Ini udah dua tahun. Dua tahun sejak kepergian kamu. Dua tahun sejak aku menjalani hubungan penuh kebohongan ini, Nan,” ucap Audrey sambil terisak. Bunga tulip itu kemudian diletakkan di dekat nisan bertuliskan nama Nanta Radika. “Bagaimana caranya aku mengakhiri ini semua, Nan?”
            Bahu Audrey bergetar. Dia menunduk, menikmati tangisannya, menyesapi setiap pedih yang terasa dalam hati. “Alvin terlalu baik. Dia seharusnya pantas mendapat yang lebih dari aku. Dia nggak pantas mendapat pasangan seorang gadis yang masih menaruh hati pada adiknya sendiri.”
            “Nan, apa yang harus aku lakukan? Ini sudah terlalu jauh, aku nggak ingin menyakiti Alvin dengan cara mengakhiri semua ini dengan tiba-tiba... Tapi, aku nggak mungkin menjalani hubungan tanpa hati ini terus-menerus. Kakakmu itu pantas bahagia atas cinta dari gadis yang benar-benar mencintai dia. Bukan dengan aku yang...” Audrey membungkam mulutnya, menahan tangis agar tak terdengar oleh peziarah lain. Badannya kembali terguncang pelan. “...dengan aku yang pura-pura mencintai dia. Dengan aku yang menerimanya karena suruhanmu, Nan... Ini masalah hati. Nggak seharusnya aku melakukan ini... Alvin nggak seharusnya menerima ini semua.”
            Dari balik pohon besar yang letaknya tidak jauh dari makam itu, berdiri seorang lelaki berkacamata. Memandang nanar Audrey yang menangis di makam adiknya. Tangannya mengepal. Berusaha menahan perih atas ribuan jarum yang menusuk hatinya.


**