"Coba
aja deh kemarin lo nonton bareng gue. Sumpah deh filmnya keren,
gilakkkk!"
Entah ini
sudah kali keberapa dalam satu hari gue ceritain hal ini ke Jeina. Dan
tanggapan Jeina masih sama aja sejak awal gue cerita. Dia cuma bilang, "Oh
gitu."
"JEINAAAA!"
pekik gue di telinga gadis blasteran Indo-Inggris ini. "Give me
a good reaction, please?"
Jeina
menatap gue. "Emang lo mau reaksi gue kayak gimana?"
"Ya,
elo kan bisa kasih komentar apa kek."
"Males."
Jeina mempercepat langkahnya meninggalkan gue dibelakang.
"Jeiiii,"
kata gue sambil menarik lengan Jeina. "Ngambek dih."
"Abisnya
lo dari pagi ngomongin nya tentang Film Refrain melulu, sih. Sumpek
gue."
"Ya
ampun, Jei. Gue ceritain itu ke elo karena gue pengin sahabat terbaik gue ini
tau tentang Film Refrain yang..."
Jeina
langsung memotong perkataan gue dan nyeroscos ala gue. "...yang luar biasa
kerennya. Dari awal film sampe akhir film nya keren banget karena Niki sama
Nata nya cantik dan ganteng, terus selama nonton film nya pasti bakalan
senyum-senyum gara-gara liat Maudy Ayunda yang cantik banget. Terus
bikin nangis dibagian Afgan alias Nata bilang ke Maudy Ayunda alias
Niki kalau dia mau ke Austria. Dan... ending nya yang gak terduga karena
akhirnya mereka bersatu."
"Lho,
lo kok tau apa yang mau gue bilang?"
"Karena
sejak pagi sampai jam pulang sekolah lo udah ngomongin itu selama se-be-las
kali, Audya sayang."
"Oh
iya, ya. Hehehe..." Gue menggaruk kepala yang sama sekali nggak
gatal.
Jeina lalu
kembali melangkahkan kakinya dengan cepat menjauhi gue yang masih terpaku di
lorong sekolah. Gue nggak ngejar dia, karena kalaupun gue kejar toh Jeina
bakalan tetap jalan lagi ninggalin gue yang lagi gila karena satu film. FYI,
gue orangnya emang sering gila sama satu film yang gue tonton. Bahkan terkadang
film yang udah berkali-kali gue tonton. Dan kali ini, film yang menjadi
'tersangka' bikin gue gila adalah Film Refrain. Film yang diangkat dari
novel karya Winna Efendi ini beneran berhasil bikin gue ngayal kalau aja gue
jadi Niki.
Btw, kenalin
nama gue Audya. Siswi kelas X di SMA Negeri 199. Gue bukan siswi pinter
disekolah ini, bukan siswi yang cantik, bukan siswi yang populer. Okay,
kembali ke topik awal. Film Refrain. Mungkin emang ini bukan film
baru, karena film nya emang udah tayang beberapa bulan yang lalu. Dan, gue yang
nggak sengaja ngutak-ngatik youtube tadi malem, nemuin film ini. Ya udah
gue tonton aja. Beuh, nggak nyesel. Keren, gila! Apalagi pemeran utama
nya idola gue sendiri, Maudy Ayunda. Gue emang ngefans sama dia dari...
darimana, ya, nggak tau deh lupa. Pokoknya dia itu cantik, manis, pinter,
dan....
"Woy,
mau pulang apa nggak?"
Shit.
Gue menoleh
ke asal suara. Avior. Entah apa dosa gue di masa lalu harus punya temen kayak
dia. Orangnya annoying banget. Gue kenal dia sejak kecil. Rumah kita
sebelahan. Tapi, waktu SD gue sempet pindah rumah, pisah deh sama dia. Dan pas
SMP pindah lagi, eh ketemu lagi. Dunia sempit. Huh!
"Ditanya
malah diem. Mau pulang nggak? Gue tinggal nih, ya." Avior melangkah cepat
menjauhi gue. Gue tarik tangannya untuk mencegah dia pergi.
"Iya,
gue mau pulang. Ih, sok galak!" kata gue. Dia cuma mendelik kesal karen
gue katain galak.
Oh ya, gue
emang selalu berangkat-pulang bareng Avior selama masuk SMA ini. Kata Mama gue
dilarang bawa mobil sendiri dulu. Etdah, kenapa mesti Avior, sih. Sejak
kecil gue sama Avior jarang akurnya, malah nggak pernah akur. Tapi,
persahabatan orang tua kami memaksa agar akur selalu. Lalalala....
"Buruan
naik!" suruh Avior sambil membukakan gue pintu mobil.
Gue yang
masih merutuk karena kesal, naik ke mobil Jazz sambil ngedumel sendiri.
Mobil udah
melaju setengah perjalan. Tapi, gue masih aja ngedumel.
"Ngapain
lo ngomong sendiri? Gila, ya? Hahaha..." ucap Avior memecah keheningan
didalam mobil.
Gue nggak
ngejawab. Diem.
Ngeliat gue
yang nggak ngerespon ucapannya, Avior membuat topik baru. "Kemarin gue
liat lampu kamar lo masih nyala sampe dini hari. Lo ngapain? Browsing?"
Ia masih terus berusaha memancing perbincangan dengan gue. Namun, gue (masih)
diam.
"Emmm,
semalem gue juga ngeliat di twitter lo nge-update tentang Film
Refrain, lo nonton itu?"
Jedar!
Benteng pertahanan gue untuk tetap nggak ngomong selama di mobil berhasil Avior
runtuhkan hanya karena dua kata itu, Film Refrain.
"Iya!
Kemarin gue nonton itu. Ada Maudy Ayunda nya. Cantik banget dia disana.
Lo udah nonton? Gila, keren banget!" Gue berapi-api menjawab pertanyaan
terakhir Avior.
Laki-laki
yang to be honest senyumnya manis itu tertawa kecil kearah gue. Sontak
gue dibikin bingung, ngapain coba dia ketawa.
"Udah
dong. Gue malah punya DVD nya."
Singkat.
Padat. Jelas. Satu kalimat yang Avior ucapkan membuat gue seperti pengin nyuruh
dia untuk buru-buru sampe rumah.
“What?! Gue pinjem!” teriak gue di dalem
mobil.
Avior
memegangi telinga sebelah kirinya. “Nggak usah teriak kali,” katanya. “Iya
udah, gimana kalo ntar aja kita nonton film nya bareng? Mau?”
“MAU!”
Senyuman
nggak henti-hentinya menghiasi wajah gue yang sebelas-duabelas sama wajah nya Maudy Ayunda. Eh. Nggak deng. Hahahaha…
Pada intinya
gue terus SENYUM selama perjalanan dari sekolah ke rumah. Dan ini adalah
pertama kalinya gue ngerasa seneng punya temen kayak Avior cuma gara-gara Film Refrain. How amazing that’s movie. Hahahaha…
***
“Yuk,
berangkat!”
Pagi ini
gue dan Avior seperti biasa berangkat bareng ke sekolah. Namun, ada hal yang
berubah; keadaan. Udah dua bulan berlalu sejak fenomena akur nya gue sama Avior
yang hanya gara-gara Film Refrain.
Jujur, gue agak geli. Kenapa kita bisa jadi deket gini hanya gara-gara satu film.
Dan, yang bikin gue lebih geli adalah waktu ngeliat koleksi DVD di kamar Avior
beberapa bulan yang lalu. Ternyata laki-laki yang gue kira galak dan garang ini
punya banyak koleksi DVD film romance.
Satu aliran lah sama gue.
“Nanti
pulang sekolah gue mau ke perpus dulu, cari buku untuk bahan makalah,” ucap gue
ketika turun dari mobil.
“Oh gitu.
Ya nanti gue tunggu di parkiran aja, ya,” jawabnya.
Gue hanya
membalas jawaban Avior dengan anggukan dan senyuman. Dia lalu senyum balik ke
gue.
Bahkan
karena terlalu lamanya kita nggak akur, bikin gue nggak sadar kalau Avior punya
senyum semanis itu. Tiba-tiba jantung gue dag-dig-dug nggak karuan.
Ya ampun, gue kenapa…
***
Pinky swear kitty swear banana cherry strawberry swear… Satu hal
yang mesti gue katakan kali ini adalah…. Refrain
bener-bener ngeubah keadaan tiga ratus enam puluh derajat!
Kenapa? Karena….
Siang ini gue sama Avior
pulang sekolah lebih awal, ada rapat dewan guru. Nggak ada yang beda sih dari
hari-hari biasanya. Kita tetep pulang bareng naik mobil Jazz milik Avior.
“Lunch bareng, yuk?” ajak Avior secara tiba-tiba. TIBA-TIBA.
“Lo ngajakin gue?”
“Iyalah, siapa lagi coba yang
ada di dalem mobil selain lo sama gue? Haha…”
“Hehehe, iya ya.” Gue
tiba-tiba salting. Entah apa penyebabnya. Perasaan dag-dig-dug di dada gue
kembali terasa lagi. Jangan-jangan…gue
naksir Avior. Ahhh, NO!
Mobil Jazz yang Avior kendarai
berhenti disalah satu Restaurant Seafood kesukaan
gue. Kita makan siang bareng disana. Sambil menunggu pesanan dateng, kita
ngobrol-ngobrol.
“Sadar nggak sih kenapa kita
bisa sedeket ini sekarang, Dy? Padahal dulu nggak pernah akur, ya, hahaha…”
“Sadar dong, karena Film Refrain kan? Hahaha, iya, tapi itu
juga karena lo duluan yang bikin perang antara kita.”
“Haha, iya. Gara-gara satu
film aja kita bisa jadi kayak gini, ya. Okelah, gue yang salah.” Avior tampak
mengalah setelah gue ‘memojokkan’ dia.
Kini gue membuka suara
pertama. “Gue pengin banget kayak Niki.”
Avior menaikkan satu alisnya.
Gue mengangguk. “Iya, gue
pengin punya kehidupan kayak dia. Keren banget. Sekolahnya bagus, terus dia nya
cantik, manis pula.” Entah angin apa yang bikin gue curhat ke Avior siang ini.
“Lo masih sama, ya, kayak
Audya kecil dulu. Hahaha…”
“Maksud lo?” tanya gue.
“Iya, lo masih sama kayak
Audya kecil yang sekalinya terobsesi sama satu film pasti pengin langsung jadi
seperti tokoh di film itu,” jawab Avior sambil tertawa kecil. “Gue inget banget
waktu kecil lo minta dibeliin baju dan sepatu kayak Barbie yang di tv itu,” kenang Avior.
“Dan yang paling bikin gue
ketawa ngingetnya adalah waktu lo ngerengek-rengek minta dipotong rambut kayak
dora dan minta beli segala sesuatu yang dora miliki. Hahaha, lo kira ada boots di dunia nyata. Hahaha…” tawa
Avior makin pecah mengenang masa kecil gue.
“Ih, lo mah jangan ngingetin
yang begituan. Malu tau!” Gue pura-pura marah.
“Bercanda, haha…” Dia ketawa
(lagi). Jujur gue seneng liat Avior ketawa. Manis banget.
“Sebenernya lo nggak perlu
berharap punya kehidupan kayak Niki ataupun Maudy
Ayunda. Lo bahkan lebih dari mereka,” ujar Avior yang kontan membuat gue
bingung.
“Iya. Lo itu cantik, manis,
dan mungkin kehidupan lo bakalan sebagus atau mungkin lebih bagus dibanding
kehidupan Niki,” lanjut Avior. “Lagipula Refrain
kan cuma film karangan manusia kan? Jadi, nggak mungkinlah terjadi di
dunia.”
Gue berusaha menutupi muka gue
yang memerah karena pujian Avior.
“Tapi, gue pengin… banget.”
Sifat keras kepala gue mulai keluar. “Nothing
impossible kan?”
“Oke oke.” Nampaknya Avior
mulai mengalah dengan perdebatan kami. “Emang nggak ada yang gak mungkin di
dunia ini. Tapi, seperti yang gue bilang tadi, lo memiliki apa yang tokoh film
itu miliki. Lo udah kayak Niki kok. Beneran deh. Jadi, mau apa lagi?”
“Hahaha, makasih pujiannya,”
ucap gue. “Tapi, gue nggak punya sosok Nata.”
Kali ini Avior diam, nggak
ngejawab lagi. Dia seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat. Namun, belum
sempat Avior menjawab, makanan yang kami pesan datang.
“Selamat makan Maudy Ayunda KW super…” Avior tersenyum
mengejek.
“Sialan!” Gue tertawa malu.
Siang itu, perdebatan tentang Film Refrain bukan merenggangkan
hubungan gue sama Avior. Malahan sebaliknya, kami semakin dekat. Dekat. Sangat
dekat.
***
“Ikut gue!”
Avior menarik tangan gue menuju taman belakang sekolah yang ukurannya agak
kecil.
“Ngapain
kesini?” tanya gue kebingungan. Gue berusaha keras mengendalikan kinerja
jantung yang mulai berdetak nggak beraturan.
“Mungkin
tanpa gue kasih tau lo sendiri bisa nebak,” kata Avior yang membuat gue semakin
kebingungan. “Lo pasti tau kalo dari dulu gue suka sama lo. Dari awal SMP, gue
selalu cari cara biar kita akur dan bisa deket. Tapi, nggak ada yang mempan.
Setiap hal yang gue lakuin malah makin bikin lo kesel sama gue.”
“Ketika gue
nyaris nyerah untuk dapetin lo, tiba-tiba hal kecil yang nggak gue duga bikin
kita sedeket ini. Film Refrain. Gue
nggak nyangka kalo film itu bisa bikin gue selalu deket sama lo,” tambah Avior.
Tangan gue
berkeringat dingin denger omongan Avior. Nggak bisa bohongin perasaan sendiri,
sejak awal pulang-pergi sekolah sama Avior gue emang ngerasa seneng. Walau
terkadang kesel juga sih. Dan gue akui gue juga suka sama dia.
“Gu… gue…”
Belum sempat gue nyelesaiin kalimat, Avior udah bicara lagi.
“Gue emang
nggak bisa jadi seorang Nata buat lo.
Gue emang nggak kayak Afgan di Film Refrain. Tapi, gue tulus sayang
sama lo, Dy.”
“Tanpa lo
perlu menjadi kayak Nata pun bukan masalah buat gue. Gue juga sayang sama lo,”
jawab gue dengan wajah sumringah.
Avior
tersenyum lebar. “Gue janji akan bikin hidup lo seperti lebih keren dari Film Refrain.”
Gue
membalasnya dengan tawa kecil.
Suasana
tiba-tiba hening hingga Avior mulai bicara lagi. Dia mengenggam jemari gue.
“It’s always been you...”
“It’s always been you, too…”
Kami saling
melempar senyum. Suasana terasa romantis banget.
“Eh,
ngomong-ngomong artinya apaan, ya?” tanya Avior dengan muka bodoh.
“Gila,
kampret! Hahahaha…” Tawa kami berdua pecah.
Kemudian
gue dan Avior berjalan beriringan meninggalkan taman. Avior tiba-tiba mendekatkan
bibirnya ke telinga gue. Lalu berbisik, “Kita tanya Maudy Ayunda dan Afgan
tentang arti yang tadi, yuk!”
Gue
mendelik kearah Avior. Kami tertawa (lagi).
***
Refrain mengubah segalanya. Film
sederhana tapi luar biasa buat gue. Sebuah film yang menyatukan gue dengan
Avior. Sebuah film yang membuat sebuah kerenggangan menjadi rapat. Sebuah film
yang membuat gue sadar bahwa itu hanya
film. Film bukan kenyataan. Sekalipun gue merengek pengin kayak Maudy Ayunda, apa Mama gue bisa jadiin
gue seperti itu? Nggak.
Refrain juga bikin gue berhenti berharap
lebih dari diri seseorang. Refrain bikin
gue dan Avior menjadi satu. Yang kemudian membuat gue sadar bahwa mencintai
diri sendiri lebih baik dibanding mengelu-elukan milik orang lain. Maudy Ayunda emang cantik. Ya terus gue
mau apa?
Satu hal
lagi yang membuat gue semakin mencintai Film
Refrain. Refrain memang membuat gue jatuh cinta pada Niki dan Nata. Tapi, Refrain juga membuat gue berhenti
berharap menjadi seorang ‘Niki’ dan
memiliki ‘Nata’. Karena gara-gara Refrain gue nemuin Nata untuk diri gue. Avior adalah Nata gue.
Gara-gara Refrain gue gila. Gara-gara
Refrain gue bersatu dengan Avior. Semua gara-gara
Refrain.
-C-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar