Sabtu, 30 Mei 2015

Adegan Favorit di Novel KISMET (#KismetGoodieBag)

Adegan ulang tahun. 

Gokil. 

Satu kata yang paling pas menurutku. Waktu baca adegan ini, bener-bener sukses dibikin ngakak. Entah di mana bagian yang lucu, tapi, ya, aku ngakak aja sendiri. Bayangin polosnya muka Alisya waktu bilang "Oh..." terus Cia-nya bengong. Terus tiba-tiba Cia heboh gitu. HAHA. Gemesh. :3 

Dan, bagian ini ada "sensasi"nya tersendiri. Sebagai pembaca, aku merasa dapet banget feel-nya bagian ini. Jadi, kerasa banget gitu. Dari yang Cia dan Al ketemu nggak sengaja (di sini masih penasaran gimana mereka selanjutnya), terus perang dingin (mulai deg-degan...), terus memutuskan untuk akur (oke, nice), terus tiba-tiba... ULTAHNYA BEDA SEHARI... OH MY GOD OH MY GOD INI KISMET (ala Cia), wkwk. :3 

Sebenarnya ini bukan satu-satunya adegan yang aku suka, tapi berhubung ini adegan PERTAMA yang bikin aku langsung jatuh cinta sama persahabatan mereka—bikin gemes dan geregetan—jadi, aku nobatkan (ceileh) adegan ulang tahun sebagai adegan favoritku. Dan sampai sekarang, tiap lirik-lirik novel Kismet, adegan ini selalu kebayang di kepalaku, dan bikin aku mikir gini "kok bisa" "keren gila" "kok pas banget". Iya, pas ba-nget. Bayangin aja, mereka ketemunya tiba-tiba tapi langsung cocok, terus ultahnya 'sebelahan'. Apalagi coba namanya ini kalau bukan KISMET? :]

#KismetGoodieBag

Minggu, 17 Mei 2015

Kata Hati - #6




Desir angin memainkan anak rambutku yang tidak ikut terikat karet rambut yang kupakai. Bukan salah anak rambutku, tetapi sepoi angin di tempat sepi inilah tersangkanya. Butuh tiga puluh menit untukku tiba di tempat ini. Aku selalu pergi ke tempat ini saat merasa lelah. Sebuah bangku karat di ujung taman kota adalah tempat kesukaanku. Dan saat ini, sungguh aku lelah. Berdiam diri di sudut ini, membuatku sedikit lebih tenang, memang. Namun, tidak sepenuhnya membuatku lupa dengan...
            “Ngapain kamu di sini?” Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Suara terlembut―setelah suara ibuku―yang pernah aku dengar. “Merasa bosan dengan dunia, hm?”
            Aku sebenarnya sudah tidak asing dengan suara itu. Saat aku berada dalam masa-masa tersulit dalam hidupku, dia selalu muncul dimanapun aku berada. Awalnya aku takut, tapi perlahan aku yakin bahwa dia baik.
            Aku meliriknya sekilas. Dia masih sama seperti pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Rambut panjang lurusnya tergerai bebas yang mirip sekali dengan rambutku saat digerai. Pakaiannya pun itu-itu saja; kemeja putih polos berlengan panjang yang sedikit kebesaran dan celana bahan dengan warna yang sama. Pertemuan pertama kami dulu di atas batu karang di pantai, dengan pakaian yang sama, orang aneh ini menjadi pendengar yang baik untukku.
            “Apa kamu terlalu sibuk mengurus urusan orang sampai-sampai tidak pernah berganti baju?”
            “Hm, mungkin,” dia menggumam, “namun setidaknya aku tidak pernah mengganti baju berkali-kali saat akan pergi ke suatu tempat.”
            “Heh, menyindir?”
            Dia tertawa pelan.
            Kemudian hening memisahkan aku dan dia. Angin sepoi kembali terasa menyejukkanku. Dan disaat bersamaan, membuatku teringat padanya.
            “Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” tanyanya. Aku tidak kaget jika dia tiba-tiba bisa membaca pikiranku, kurasa dia memang memiliki kemampuan itu. “Bahkan kamu sendiri tidak tahu apa yang kauinginkan, gadis bodoh.”
            “Itu berarti kamu tidak pantas duduk di sebelahku yang seorang gadis bodoh,” ucapku tanpa mengalihkan pandanganku yang sejak tadi lurus ke depan.
            Dia terkekeh. “Jika aku yang tidak pernah berganti baju ini tidak pantas duduk di dekat seorang gadis bodoh sepertimu, bagaimana mungkin kamu jatuh cinta kepada lelaki baik seperti dia? Apa sebagai seorang gadis bodoh sepertimu pantas dengannya?”
            “Apa maksudmu?”
            “Kau sudah bodoh, jangan berlagak lebih bodoh.”
            Sekarang aku yang tertawa. “Setidaknya dengan menjadi bodoh, aku bisa membuat orang-orang bahagia karena kebodohanku.”
            “Dan membuat orang-orang tidak mengetahui kesedihanmu,” dia melanjutkan ucapanku.
            Nggak penting,” sahutku ketus.
            Dia mengangguk-ngangguk. “Lantas, apa sebenarnya yang kamu inginkan?”
            “Kenapa kamu selalu menanyakan itu?” Aku mulai gerah dengan pertanyaannya.
            “Kenapa untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu saja kamu tidak mampu, hm?”
            Aku menarik napas panjang. Berusaha menghilangkan sesak yang tiba-tiba kurasakan. “Aku hanya ingin....”
            “...dia tidak pergi,” dia menyambung ucapanku. Kemudian tertawa pelan. “Sebenarnya aku sudah mengetahui. Hanya saja aku ingin kamu mengucapkannya sendiri.”
            Aku diam saja.
            “Yang kamu inginkan sebenarnya adalah dia agar tidak pergi. Sehingga kamu berusaha membuat dirimu terikat dalam suatu hubungan dengannya. Kamu berusaha membuat dia kembali memiliki perasaan seperti dulu kepadamu.” Dia menggulung kemeja putih panjangnya sampai sesiku. Lantas melanjutkan, “kamu kira semudah itu? Mengembalikan perasaan yang sudah dikuburnya dalam-dalam... cih, dasar kamu gadis bodoh... dan egois.”
            “Aku terlalu malas untuk berdebat denganmu,” balasku.
            “Mana mungkin kamu bisa mendebatku jika semua yang aku katakan adalah fakta,” katanya, “fakta yang selalu kamu hindari, gadis bodoh yang egois.”
            “Katakan apa yang ingin kamu katakan, aku tidak akan menangis kok,” ucapku, malas.
            “Tentu kamu tidak akan menangis, karena yang mampu membuat seorang gadis bodoh dan egois sepertimu itu menangis hanya sebuah pengabaian dan rasa penyesalan karena pernah menyianyiakan ketulusan seseorang.”
            “Hm,” aku menunduk. Hanya membalasnya dengan gumaman.
            “Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap.... dia tetap akan pergi,” ucapnya memancing keresahanku. “Semua ini salahmu sudah menyianyiakan dia dulu. Jika sekarang dia pergi, meski kamu berusaha menahannya, itu semua akan percuma. Semua akan sia-sia. Perasaannya sudah kamu hancurkan dulu. Yang sudah rusak, akan sulit kembali seperti dulu lagi.”
            “Apa kamu pernah membaca buku Rectoverso karya Dee Lestari? Ada satu kutipan yang cocok untuk dirimu,” kataku datar.
            Ia menggeleng. “Apa?”
            “Kita bukan malaikat yang bisa mengetahui perasaan orang lain.”
            “Tentu..., kamu pun bukan malaikat...,” ucapnya menggantung, “yang dapat mengatakan bahwa lelaki itu tidak menyayangimu lagi hanya karena perkara pesan singkat yang diabaikan. Bagaimana mungkin kamu mengukur kesetiaan seseorang dari sebuah pesan singkat?”
            “Maksudmu apa? Tadi kamu berkata seolah-olah dia sudah tidak menginginkan aku lagi, tetapi sekarang kamu menyalahkan aku atas dugaanku tentang dia...,” aku menggeleng heran, “lagipula kamu tahu darimana soal semua masalahku ini?”
            “Kamu selalu menghindariku setiap kali berada dalam kebimbangan. Cinta bukan perkara satu tambah satu yang bisa kamu kerjakan dengan logika. Andai dulu kamu mendengarkanku, bukan logika jeniusmu itu, maka saat ini kamu tidak akan seperti ini,” suaranya berubah serius, “kamu mempercayakan sepenuhnya pilihan hidupmu dengan berpikir. Bukan merasakan.”
            “Apa maksudmu? Mendengarkanmu? Dulu? Ini bahkan merupakan kali pertama aku berbagi masalah tentang lelaki ini padamu...,” aku kembali menggeleng, lantas menghadapnya dan berkata, “siapa kamu sebenarnya? Kenapa juga aku harus mengikuti katamu?”
            “Gadis bodoh yang egois, sebenarnya kauhanya bodoh saja jikalau mau mendengarkan apa yang aku katakan. Jangan melawan aku,” katanya lagi.
            “Siapa kamu? Kaubahkan bukan ibuku.”
            “Aku lebih dari ibumu, gadis bodoh yang egois.”
            Aku mengernyit. “Siapa kamu?”
            Dia tersenyum. “Dengarkan aku sekali lagi gadis bodoh, berhentilah menjadi egois,” ucapnya pelan, lalu melanjutkan, “waktu akan terus berjalan tanpa peduli meski kauberusaha menahannya. Dia pasti akan tetap pergi apapun yang terjadi. Kita bukan malaikat tentunya, jadi tidak bisa menebak apa isi hati lelaki pujaanmu itu. Tapi kita bisa membuat lelaki itu tetap menjadi milikmu kalau kaumau mendengar apa yang kukatakan. Meski tanpa jaminan bahwa dia akan menerimamu setelah semua yang kamu lakukan padanya, namun aku berani menjamin, bahwa dia cukup baik untuk gadis sebodoh dan egois sepertimu,” dia terdiam sesaat, “kembali selagi ada waktu. Dia baik..., tunjukkan bahwa kamu pantas untuknya. Dia tidak akan benar-benar pergi jika kamu tidak benar-benar melepasnya. Dibanding sahabat-sahabatmu, ucapanku mungkin tidak seratus persen benar, tetapi dengan menjalankan apa yang kukatakan, hidupmu setidaknya akan lebih lega, tidak ada yang tertahan.” 
            “Kenapa kamu berkata seakan itu semua sebegitu mudahnya, hah? Kamu tidak pernah memikirkan―”
            “Kauterlalu banyak berpikir. Cinta itu buta akan logika. Selama semua ini tidak menyakiti pihak manapun, lakukan saja. Apa lagi yang kamu pikirkan? Gengsi? Cih, dasar egois.”
            Aku tidak mampu lagi menahan sakit di dadaku. Air mataku tumpah begitu saja.
            “Kenapa serumit ini? Aku hanya ingin dia tetap di sini dan mengetahui perasaanku...,” lirihku.
            “Apanya yang rumit? Gengsimu membuat semua menjadi terasa rumit. Kauingin dia mengetahui perasaanmu tanpa kamu mengungkapkannya? Kaukira dia malaikat?”
            Habis kata-kataku melawannya. Nyaris semua yang dia katakan adalah kebenaran yang aku hindari.
            “Ya, kamu menghindariku, gadis bodoh. Aku tidak akan memanggilmu egois lagi jika kaumau berhenti mencari pembenaran. Kebenaran, itu yang perlu kamu temukan, bukan pembenaran atas semua perbuatanmu. Temukan kebenaran itu di sini,” ia menyentuh dada kirinya, “kejar dia sebelum pergi lagi. Jangan meminta agar kau dikejar saja. Jangan egois, gadis bodoh.”
            Ia beranjak dari duduknya.
            “Jadi, siapa kamu?”
            Langkahnya tertahan. “Jangan menghindariku terus menerus, ikuti kataku. Aku adalah kamu.”
            Aku menatap arah lain, lalu kembali menoleh ke arah dimana dia ber...
            Dia menghilang.
            Kebiasaannya yang aku benci.
            Tiba-tiba seorang penjaja minuman menghampiriku. “Mau minum, mbak?”
            “Air mineralnya satu,” ucapku sambil tersenyum.
            Dia menyerahkanku sebotol minuman. “Mbak, betah banget sih daritadi bengong di sini... sendirian pula.”
            Ucapannya membuatku tercengang.
            Lalu si orang aneh penuh nasehat itu siapa?
            “Daritadi saya liatin mbak dari sana,” dia menunjuk sebuah tempat rindang di bawah pohon yang tak jauh dari tempatku, “muka mbak kayak orang lagi bertengkar. Mbak banyak masalah, ya? Kalau iya, berdebat sama diri sendiri itu wajar kok... ikutin aja kata hati,” kata pedagang minuman ini sambil menyerahkan kembalian. “Saya permisi, mbak.”
            Aku menatap punggungnya yang berjalan menuju segerombol orang dewasa yang sedari tadi memanggilnya. Apa yang dia katakan tadi?
            Aku berdebat dengan diri sendiri? Jadi, orang aneh tadi itu setan? Atau sejenis iblis baik hati?
            Aku menggeleng pelan. Mungkin sudah saatnya aku pulang.
            Jangan lupa, kejar dia, jika kamu tidak ingin dia pergi.
            Suara orang aneh itu terdengar lagi. Tapi dia tidak nampak ada.
            Jangan terus menghindariku. Aku adalah kamu. Aku adalah yang sering kamu hindari karena logikamu itu, gadis bodoh yang masih saja egois.
**
-C-

Lantas, apa? - #5

Kata-kataku seolah habis untuk melukiskan apa yang kurasa kini.
Air mata pun terasa mengering, karena tak setetes pun ia terjatuh.
Hatiku seperti telah mati, tak ada lagi rasa takut kehilanganmu.
Tapi hanya satu, yang masih, dan membuatku tidak bisa tidur; sakit. Entah di bagian mana, aku merasa sakit. Menyadari semua berubah dalam satu kedipan mata.

Rasa sakit yang sangat sederhana. Sesederhana pesan singkat yang diabaikan. Sesederhana perasaanku yang tak terbalaskan. Sesederhana kamu yang hilang begitu saja.

Aku mengatakan bahwa aku memiliki kehidupan sendiri, pun kamu juga tentu memilikinya. Hingga tak seharusnya aku marah hanya karena hal sesederhana pesan singkat yang hanya dibaca saja. Mungkin kamu sibuk, kan?

Tapi terlepas dari semua itu, ada satu hal yang membuatku merasa tergelitik sekaligus menyakitkan dalam satu waktu; status.

Siapa kita? Siapa aku? Siapa kamu?

Kita bahkan tak memiliki status kejelasan. Kamu yang sadar aku menyayangimu, sebaliknya aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu—apalagi perasaanmu.

Lantas, apa yang bisa kuharapkan dari sebuah hubungan tanpa status dan kejelasan?

9:40 PM
17/5/15

Rabu, 13 Mei 2015

- #4

13/5/15
11:09 PM

Setelah nyaris semua lagu dalam playlist kuputar, dan perlahan sosial media mulai terasa membosankan, aku menarik selimut berwarna merah kesayanganku sebatas perut. Aku menatap nanar langit-langit kamar yang berwarna hitam—karena lampu yang sudah kumatikan. Cahaya hanya berasal dari handphoneku yang sesekali kusentuh untuk mengecek adakah pesan terbaru darimu. Nihil.

Aku memeluk guling dengan erat. Perasaanku jadi lebih sensitif akhir-akhir ini. Terlebih aku sedang mendapat tamu bulananku. Hening sesaat, tiba-tiba air mataku mengalir. Entah karena apa. Rasanya ada yang hilang tercampur rasa takut yang tiba-tiba datang.

Karma yang kurasa tidak terasa menakutkan jika dibandingkan dengan ketakutanku akan perpisahan kita.

Perpisahan dalam kamusku adalah raga kita berpisah, pun cerita kita menggantung tanpa pernah dilanjutkan, selamanya.

Aku mencengkram erat selimutku setiap kali dadaku terasa sesak. Dan aku kembali menangis tanpa alasan.

Tangisan yang setiap pagi—saat aku bercermin—dalam beberapa hari terakhir ini, membuatku menemukan sosok zombie kecil. Mataku menghitam di bagian bawah, terkadang sembab, bibirku kering dan sesekali meringis menahan perutku yang perih karena hampir seminggu jadwal makanku tidak teratur—padahal ini bisa membunuhku perlahan karena maag akut yang kumiliki. Selain itu, rambutku yang berantakan karena mulai sering kuabaikan, dan tak lupa beberapa jerawat kecil karena aku bahkan lupa untuk mencuci muka sebelum tidur.

Hal ini membuatku enggan pergi ke sekolah. Lebih baik aku bergelung di bawah selimut, menikmati perasaan aneh yang menjalari diriku. Untung saja ujian telah berakhir.

Aku memang berlebihan dalam hal perasaan. Mungkin karena aku terlalu serius dalam menanggapinya. Mungkin karena sekalinya aku jatuh pada seseorang—aku benar-benar jatuh. Yah, inilah diriku dengan segala kekuranganku.

Dan itulah kamu dengan segala kemenanganmu; menang atas hatiku dan nyaris seluruh kewarasanku. 

Jangan Pergi - #3

Aku mengetuk-ngetukkan jemari pada bangku kayu yang kududuki sedari tadi. Ini sudah lewat satu jam tiga puluh empat menit dari jam yang kamu janjikan. Andai saja kemarin kamu memberiku waktu untuk mengungkapkan, sebentar saja, mungkin hari ini aku tidak akan menunggu selama ini.

Tapi, tidak apa, ini tak sebanding dengan kamu yang telah menungguku seribu kali lebih lama dari sekadar satu jam tiga puluh empat menit.

"Hai," kamu tiba-tiba muncul di hadapanku, "ada apa?"

Aku tersenyum kikuk.

"Duduk dulu," kataku.

Kamu mengangguk. Matamu kembali melirikku. "Ada apa?"

Aku berusaha menetralkan degup jantung yang tak terkendali. Aku harus bicara. Aku harus berani.

Meski tersendat, kupaksakan terus berbicara, "A-aku minta maaf—"

"Minta maaf? Untuk apa?" tanyamu dengan wajah tak berekspresi. Kita sama-sama terdiam sesaat, sampai akhirnya kamu melanjutkan, "untuk semua gengsimu?"

Aku tiba-tiba membisu. Semua yang kususun dalam pikiran, lenyap seketika. Namun, disaat yang bersamaan, tatapanmu perlahan menghangat. Senyum lamamu kembali lagi.

Dan bibirmu mulai bercerita tanpa bisa kuhentikan.

"Kamu tahu," katamu, memulai, "Semua ini nggak mudah. Kamu kira segampang itu? Nggak."

"Aku perlu meyakinkan diri berkali-kali bahwa kamu itu yang terbaik. Aku berusaha mengumpulkan keberanian dan rasa percaya diri, aku memberi dukungan untuk diriku sendiri," lanjutmu.

"Y-ya, aku tahu," sahutku yang lebih mirip lirihan daripada ucapan.

Kamu kembali tersenyum.

"Tapi kamu nggak tahu, bagaimana rasanya...," kamu mengembuskan napas panjang, "ketika kamu menyukai seseorang, kamu selalu memikirkannya, kamu selalu bersemangat ke sekolah agar bisa bertemu dengannya, kamu menaruh banyak harapan padanya..., berharap dia membalas perasaanmu, entah itu terpaksa atau tidak. Lalu, tanpa membutuhkan waktu lama, akhirnya perasaanmu terbalas, dan secepat itu pula dia memutuskan hubungan kalian..."

Aku menunduk sedalam-dalamnya. Tidak berniat sedikitpun melirikmu yang masih terus berbicara.

"Putus seolah bukan akhir, kamu masih menaruh harapan padanya supaya kalian bisa kembali bersama, kamu masih terus mengejarnya, kamu masih menyayanginya, dan sifat juteknya tak berarti apa-apa, kamu tetap pada rasamu itu."

"Namun, perlahan kamu merasa semua usahamu itu sia-sia, dia tidak akan kembali lagi padamu, kemudian kamu coba untuk melupakan dia entah bagaimana caranya...," kamu kembali menatapku yang masih terpaku membisu, dan ceritamu selanjutnya adalah pemecah dinding air mataku, "hingga suatu hari dia kembali lagi, dia kembali dalam keadaan telah membuka hatinya untukmu..., tapi, apakah semudah membalikan telapak tangan kamu akan menerimanya lagi?"

Aku kalah telak. Bibirku mengatup rapat menahan isakan, hanya air mata yang mengalir dari ujung mataku.

Tiba-tiba kamu tertawa pelan, "kenapa menangis, hm?" tanyamu. "Hm, sorry, jadinya aku yang banyak bicara. Padahal kita bertemu karena kamu ada yang ingin dibicarakan, kan?"

Aku mengangguk pelan—tetapi masih larut dalam tangisanku sendiri.

"Kamu mau bilang apa? Aku nggak bisa lama-lama, aku harus pergi buat ngurus surat-surat untuk pindah—"

"Kamu beneran mau pergi?" Akhirnya aku bersuara, meski agak serak. "Jadi, kamu beneran mau pergi?"

Aku mendadak tidak dapat mengendalikan sifat agresifku. Tangisku hilang berubah ketakutan.

"Kenapa pergi? Kenapa harus pergi?"

Kamu menghela napas panjang seperti tadi lagi, lalu mengangguk pelan.

Sebaliknya, aku menggeleng cepat.

"Aku tahu, aku tahu rasanya seperti yang kamu ceritakan tadi. Bahkan aku merasakan sakit yang lebih. Aku tahu, aku salah. Aku minta maaf..."

Kamu beranjak dari dudukmu, dan berjalan sedikit menjauh. Tanpa mengucap sepatah katapun.

Aku menyusulmu, dan tepat saat aku berdiri di belakang punggungmu, perlahan aku berbicara, "aku tahu semua ini kesalahanku. Aku tahu aku bodoh menyianyiakan semua yang kamu lakukan. Aku sadar dengan semua kesalahanku. Aku tahu seharusnya aku tidak semudah itu pergi. Aku tahu seharusnya aku lebih bijak menanggapinya. A-aku tahu... aku tahu, aku salah..."

"B-bukankah kita bisa memulainya dari awal?" Aku menutup omonganku dengan sebuah pertanyaan yang lebih mirip sebuah pernyataan—atau permintaan.

Senja yang telah menghilang digantikan malam kelabu telah menjadi saksi aku yang melewati batas gengsiku.

Kamu berbalik badan. Matamu berubah sendu melihatku yang berantakan seperti ini.

Setelah nyaris lima menit kita berdiri berhadapan dan sama-sama diam, kamu memecah hening itu.

"Semua tidak akan semudah itu."

Aku mendongak, menatapmu dengan berani—namun penuh penyesalan.

Dengan gemetar, aku berkata, "jangan... pernah... pergi... Maka aku akan selalu di sini."

Bukan balasan yang kudapat, tetapi kamu kembali berbalik badan, dan membiarkanku berdiri di belakangmu menunggu jawaban—tanpa kepastian.

**

13/5/15
2:44 PM 

Selasa, 12 Mei 2015

- #2

Akhirnya aku tahu bagaimana sulitnya
Saat mencoba, tapi tak sesuai harapan
Saat berusaha, tapi terabaikan
Saat bersabar, meski tak mengubah keadaan

Akhirnya aku mengerti
Bagaimana sulitnya memulai
Apalagi jika hasilnya tidak sesuai ekspektasi
Jika pengorbanan berbuah sakit hati

Dulu aku yang mengabaikan
Sekarang mendapat pelajaran
Dulu aku yang melarikan diri
Sekarang mengejar sendiri

Ini bukan sebuah penyesalan, tetapi lebih pada kesadaran. Penyesalan tidak guna ditangisi, namun kesalahan dapat kita perbaiki

Ada banyak waktu, tetapi keadaan dan kesempatan takkan menjajikan. Tiap detik adalah hal baru. Apapun bisa berubah dalam satu kedipan mata.

Setiap kesempatan adalah satu kartu yang belum tentu bisa didapatkan pada kartu keseribupun. Sekali kauabaikan—mungkin saja—maka penyesalan menanti di depan.

Aku tidak peduli, dan tak mau tahu lagi, kapan aku akan pergi. Semampuku, aku ‘kan tetap di sini, memperbaiki diri.

  - C - 

Sabtu, 09 Mei 2015

(Lagi) #1

Bagaimana mungkin seseorang memintaku untuk tetap diam—jangan pergi—disaat yang bersamaan tak ada alasan yang bisa kugunakan ‘tuk bertahan?

Jika malam ini semua bisa terukir, lantas pantaskah aku memilih berakhir?
Jika malam ini segalanya berbaur, lantas bolehkah aku putuskan mundur?
Jika malam ini semua tak sama lagi, apa itu tanda bahwa sudah saatnya aku pergi?

Aku ingin berhenti. Tapi takut. Aku ingin terus melangkah. Tapi gugup. Selain tetap disini dan pergi, tidak adakah opsi lain?

Seperti ada duri dalam kaki; aku diam, terasa sakitnya—kumelangkah, pun makin sakitnya.

Maunya apa?

Mungkin ini yang dimaksud ‘jangan menyia-nyiakan kesempatan’. Kesempatan kedua tidak selalu ada. Dan, kesempatan ketiga sungguh tidak mudah.

Seperti kilat yang begitu cepat, perasaan ini pun datang selewat. Tanpa permisi dan memikirkan konsekuensi.

Bodoh.

Mana mungkin perasaan dapat berpikir. Dia tentu hanya merasakan, bukan memikirkan.

Seperti ada yang mendorong, aku dibuat tiba-tiba jatuh ke lubang yang kukira sudah jauh. Ternyata jaraknya hanya sejengkal rasa jenuh—yang mampu menghilang dan berubah jadi rindu yang menyerang.

Bodoh.

Mana mungkin sebuah rindu bisa kuartikan rasa ingin kembali seperti dulu.

Mungkin dan mungkin, ini hanya sebuah kebetulan. Satu godaan sebelum perpisahan.
Mungkin dan mungkin, ini yang akan menjadi kenangan nantinya. Yang bisa saja kuingat selama...—nya.

Semua terjadi sebagaimana harus terjadi. Aku hanya menunggu dan menunggu. Tidak ada jaminan. Semua tergantung waktu dan keadaan.

Cepatlah hampiri, sebelum aku pergi (lagi).