Sabtu, 31 Januari 2015

Tentang Sebuah Cerita


Masih kuingat sekali dua puluh enam hari yang lalu, ketika aku pertama kali melihatmu. Duduk manis dibaris kedua. Pakaian yang cukup nyentrik ditambah statusmu sebagai seorang murid baru membuatku tidak berhenti bertanya-tanya. Aku ingin tahu siapa kamu. Seorang laki-laki bertubuh lebih tinggi dariku dengan alis tebal hitam pekat yang memikat. Aku sadar ini terlalu cepat. Mungkin ini sebuah ketertarikan sesaat. 

Hari-hari kulewati sembari menanti pertemuan kita yang hanya dua kali dalam satu pekan. Itupun bisa berkurang sewaktu-waktu apabila kesibukan pribadi membuat aku, pun kamu, tak dapat hadir. 

Tiga jam yang kumiliki untuk bersamamu dalam sebuah ruangan selalu kumanfaatkan seefektif mungkin. Usaha-usaha kecil mulai kulakukan untuk mencari tahu banyak hal tentang sosokmu. Si Alis Tebal yang tak pernah bersuara; yang selalu asyik dengan gadgetnya; yang beberapa kali menoleh saat kutatap lama-lama. 

Mengetahui namamu saja tak membuatku puas. Apa yang ingin kuketahui, harus kucaritahu sendiri. Itu prinsipku. 

Malam ini—entah disebut keajaiban atau kebetulan—kita berteman dalam salah satu jejaring sosial. Maya memang. Padahal yang kuinginkan adalah perkenalan nyata. Tapi, tak apa, aku cukup merasa bahagia. 

Aku tidak tahu bagaimana esok ’kan terjadi. Akankah ketertarikanku menjadi sebuah rasa yang lebih, atau berhenti sampai di sini. Aku tidak bisa menduga apa yang akan selanjutnya Tuhan ukir dalam petualanganku di dunia. Mungkin sebuah perjalanan menyenangkan atau pencarian menyakitkan. Aku tak mampu membaca apa nanti aku dan kamu bisa jadi satu; hingga berubah nama menjadi 'kita'. 

Jika memang kita hanya sebuah ilusi, aku ingin setidaknya menyimpan kisah singkat ini supaya abadi. Supaya nanti bisa kuingat lagi. 
Jika memang kita akan menemukan jalan yang sama untuk bertemu di satu titik, aku ingin setidaknya merekam perjalanan ini. Supaya tak ada satupun momen yang kulupakan. 

Aku ingin untuk setidaknya tidak jatuh terlalu dalam; supaya tak ada lebam yang terasa di malam kelam. 
Karena sesungguhnya yang paling menyakitkan dalam menyayangi diam-diam adalah ketika dia berada di sampingmu, namun untuk menyentuhnya pun kamu tidak berani. 

Biarlah suka tetap jadi suka. Jangan jadi rasa sayang yang hanya bikin pengang.



-C-

Minggu, 04 Januari 2015

Booklet Sisa Satu

Waktu itu tanggal 17 September tahun.... 2013. Kalau nggak salah. Kalau salah, ya, maafin. Jadi berhubung hari itu adalah Hari Palang Merah Indonesia, aku dan teman-teman selaku anggota PMR (Palang Merah Remaja) dapat dispensasi untuk ikut upacara di Lapangan Renon. Ya udah, paginya kita ke Renon, terus upacara. 

Kisahnya bermula di sini, nih... :)) 
Jadi sehabis upacara, kami (anggota PMR dari hampir seluruh SMP/SMA di Denpasar) dikumpulin di pinggir lapangan. Terus kita dikasih semacam souvenir lucu-lucu gitu deh. Ada berupa kipas angin tangan yang isi gambar (kalau nggak salah) orang naik motor nggak pakai helm terus di sebelahnya ada gambar pocong. Mungkin maksudnya kalau naik motor terus nggak pakai helm, nanti didatangin pocong. :'] Hahaha, nggak deng. Aku sendiri kurang mengerti maknanya, tapi itu lucu banget. Selain kipas tangan, ada juga pin, stiker dan booklet.
Nah, terus, setelah dibagikan barang-barang itu, kami 'dilepas' ke jalan raya untuk bagiin benda tadi kepada para pengendara. Ih, aku seneng banget! Ini pengalaman pertama buatku. Sejak lama aku memang pengin banget ikut kegiatan sosial yang kita-nya terjun langsung ke lapangan. Biasanya aku hanya bisa melihat orang-orang dari komunitas atau perkumpulan tertentu yang jalan-jalan di jalan raya sambil bagiin selebaran atau souvenir kecil seperti yang aku bawa. Detik itu, saat aku mulai ngeloncatin got menapaki trotoar, dengan bangganya aku menatap jalan raya, "Woi, gue mau terjun payung langsung nih. Mau seru-seruan." Kurang lebih begitu isi hatiku. 
Lampu merah menyala. Aku dan teman-teman berhamburan ke jalan raya, menghampiri satu persatu pengendara sembari menyerahkan booklet, pin, stiker, dan kipas tangan pocong tadi. Satu pengendara mendapat salah satu dari empat benda tadi. Satu, dua, tiga... Benda-benda itu mulai berkurang. Dan pengendara yang berhenti sudah hampir semua mendapatkan souvenirnya. 
Entah milikku atau milik temanku yang diberikan kepadaku; aku lupa. Yang pasti ketika detik-detik matahari mulai menyengat kulit, masih ada satu booklet lagi yang kubawa. Niatnya, aku ingin membawa booklet itu. Namun, aku sudah mengorupsi satu stiker, jadi kuurungkan niatku untuk mengambil yang bukan hakku. Lagipula, booklet itu (kalau tidak salah) membahas tentang tata cara berkendara yang tertib. Sedangkan aku ini belum bisa berkendara sendiri. Jadi, buat apa? 
Ya sudah, aku lanjut berjalan. Semakin jauh meninggalkan lapangan. Semakin ke belakang, menjauhi lampu merah. Karena kupikir bahwa kendaraan di belakang pasti ada yang belum dapat. 
Kemudian aku bersama salah seorang temanku menuju sebuah mobil. Kami mengetuk jendela sebelah kiri mobil itu.

*tok tok tok* 

Hening...

*tok tok tok* 

Hening... 

*tok tok tok* 

Jendela diturunkan.  
Akhirnya... 
Nampaklah satu-satunya orang yang ada di dalam mobil. Seorang wanita. Seraya tersenyum semanis gula batu bata, aku melongokkan sedikit kepalaku. Tanpa suara, aku menyerahkan booklet yang tersisa. 

"Ng-nggak, dik. Nggak," katanya. 

Aku menoleh ke temanku. Lantas menoleh ke wanita itu lagi sambil menyerahkan kembali satu booklet yang tersisa. 

"Ini, Mbak...," ucapku, baru mengeluarkan suara. 

"Nggak," balasnya lagi. Dia menatapku bingung. Aku menoleh ke temanku sambil menampakkan wajah bingung juga. Lah, temanku juga kebingungan. 

Sekali lagi, aku mengulangnya. "Ini, Mbak..., silahkan diambil." 

Si Mbak Wanita lagi-lagi menggeleng. Dan seperti teringat sesuatu aku langsung refleks berkata, "Ambil, Mbak. Gratis kok. Nggak bayar." 

Seolah enam kataku tadi adalah rayuan ajaib, Si Mbak Wanita langsung mengulurkan tangannya menerima booklet terakhir yang membuatku berjemur lebih lama di pinggir jalan. Setelah mobil Si Mbak Wanita melaju pergi, aku bersama temanku tertawa kecil sambil manggut-manggut menggeleng pelan. 
Ya ampun, cantik-cantik takut banget keluar duit... Lagian mana ada pembagian selebaran di jalan disuruh bayar. Ampun deh, Mbak. 
 Setelah berjalan sedikit jauh, karena tanpa disadari kami sudah berjalan agak jauh meninggalkan lampu merah dekat lapangan, kami akhirnya tiba di lapangan. Bertemu teman-teman lantas berpelukan
 Hari itu berakhir sedikit menyedihkan. Setelah panas-panasan upacara, bagi-bagiin souvenir di pinggir jalan, dan menghadapi Si Mbak Wanita yang nggak mau menerima booklet akibat takut disuruh bayar.... ternyata aku, eh, kami nggak mendapatkan makan siang. Padahal perut ini sudah bernyanyi ria. Akhirnya kami beli lumpia, yang rasanya nggak seberapa. Hahaha... Namun, meskipun begitu, aku tetap senang hari itu. Aku akhirnya tahu, terjun ke lapangan itu nggak seseru dan semudah yang kukira.

But overall, hari itu benar-benar unforgettable dan sampai sekarang aku masih menanti kegiatan-kegiatan sosial lainnya yang bisa membuat pengalamanku bertambah. Doakan, semoga aku bisa terjun payung ke lapangan untuk melakukan kegiatan sosial lagi, ya! 

**

diikutsertakan dalam #KuisWekEn oleh @Warung_Blogger dan @bookaholicfund