Senin, 13 Januari 2014

[CERPEN] Gara-gara Refrain


"Coba aja deh kemarin lo nonton bareng gue. Sumpah deh filmnya keren, gilakkkk!" 
Entah ini sudah kali keberapa dalam satu hari gue ceritain hal ini ke Jeina. Dan tanggapan Jeina masih sama aja sejak awal gue cerita. Dia cuma bilang, "Oh gitu." 
"JEINAAAA!" pekik gue di telinga gadis blasteran Indo-Inggris ini. "Give me a good reaction, please?
Jeina menatap gue. "Emang lo mau reaksi gue kayak gimana?" 
"Ya, elo kan bisa kasih komentar apa kek." 
"Males." Jeina mempercepat langkahnya meninggalkan gue dibelakang. 
"Jeiiii," kata gue sambil menarik lengan Jeina. "Ngambek dih.
"Abisnya lo dari pagi ngomongin nya tentang Film Refrain melulu, sih. Sumpek gue." 
"Ya ampun, Jei. Gue ceritain itu ke elo karena gue pengin sahabat terbaik gue ini tau tentang Film Refrain yang..." 
Jeina langsung memotong perkataan gue dan nyeroscos ala gue. "...yang luar biasa kerennya. Dari awal film sampe akhir film nya keren banget karena Niki sama Nata nya cantik dan ganteng, terus selama nonton film nya pasti bakalan senyum-senyum gara-gara liat Maudy Ayunda yang cantik banget. Terus bikin nangis dibagian Afgan alias Nata bilang ke Maudy Ayunda alias Niki kalau dia mau ke Austria. Dan... ending nya yang gak terduga karena akhirnya mereka bersatu."
"Lho, lo kok tau apa yang mau gue bilang?" 
"Karena sejak pagi sampai jam pulang sekolah lo udah ngomongin itu selama se-be-las kali, Audya sayang.
"Oh iya, ya. Hehehe..." Gue menggaruk kepala yang sama sekali nggak gatal. 
Jeina lalu kembali melangkahkan kakinya dengan cepat menjauhi gue yang masih terpaku di lorong sekolah. Gue nggak ngejar dia, karena kalaupun gue kejar toh Jeina bakalan tetap jalan lagi ninggalin gue yang lagi gila karena satu film. FYI, gue orangnya emang sering gila sama satu film yang gue tonton. Bahkan terkadang film yang udah berkali-kali gue tonton. Dan kali ini, film yang menjadi 'tersangka' bikin gue gila adalah Film Refrain. Film yang diangkat dari novel karya Winna Efendi ini beneran berhasil bikin gue ngayal kalau aja gue jadi Niki.
Btw, kenalin nama gue Audya. Siswi kelas X di SMA Negeri 199. Gue bukan siswi pinter disekolah ini, bukan siswi yang cantik, bukan siswi yang populer. Okay, kembali ke topik awal. Film Refrain. Mungkin emang ini bukan film baru, karena film nya emang udah tayang beberapa bulan yang lalu. Dan, gue yang nggak sengaja ngutak-ngatik youtube tadi malem, nemuin film ini. Ya udah gue tonton aja. Beuh, nggak nyesel. Keren, gila! Apalagi pemeran utama nya idola gue sendiri, Maudy Ayunda. Gue emang ngefans sama dia dari... darimana, ya, nggak tau deh lupa. Pokoknya dia itu cantik, manis, pinter, dan.... 
"Woy, mau pulang apa nggak?"  
Shit.
Gue menoleh ke asal suara. Avior. Entah apa dosa gue di masa lalu harus punya temen kayak dia. Orangnya annoying banget. Gue kenal dia sejak kecil. Rumah kita sebelahan. Tapi, waktu SD gue sempet pindah rumah, pisah deh sama dia. Dan pas SMP pindah lagi, eh ketemu lagi. Dunia sempit. Huh!
"Ditanya malah diem. Mau pulang nggak? Gue tinggal nih, ya." Avior melangkah cepat menjauhi gue. Gue tarik tangannya untuk mencegah dia pergi. 
"Iya, gue mau pulang. Ih, sok galak!" kata gue. Dia cuma mendelik kesal karen gue katain galak. 
Oh ya, gue emang selalu berangkat-pulang bareng Avior selama masuk SMA ini. Kata Mama gue dilarang bawa mobil sendiri dulu. Etdah, kenapa mesti Avior, sih. Sejak kecil gue sama Avior jarang akurnya, malah nggak pernah akur. Tapi, persahabatan orang tua kami memaksa agar akur selalu. Lalalala.... 
"Buruan naik!" suruh Avior sambil membukakan gue pintu mobil. 
Gue yang masih merutuk karena kesal, naik ke mobil Jazz sambil ngedumel sendiri. 
Mobil udah melaju setengah perjalan. Tapi, gue masih aja ngedumel. 
"Ngapain lo ngomong sendiri? Gila, ya? Hahaha..." ucap Avior memecah keheningan didalam mobil. 
Gue nggak ngejawab. Diem. 
Ngeliat gue yang nggak ngerespon ucapannya, Avior membuat topik baru. "Kemarin gue liat lampu kamar lo masih nyala sampe dini hari. Lo ngapain? Browsing?" Ia masih terus berusaha memancing perbincangan dengan gue. Namun, gue (masih) diam. 
"Emmm, semalem gue juga ngeliat di twitter lo nge-update tentang Film Refrain, lo nonton itu?" 
Jedar! Benteng pertahanan gue untuk tetap nggak ngomong selama di mobil berhasil Avior runtuhkan hanya karena dua kata itu, Film Refrain
"Iya! Kemarin gue nonton itu. Ada Maudy Ayunda nya. Cantik banget dia disana. Lo udah nonton? Gila, keren banget!" Gue berapi-api menjawab pertanyaan terakhir Avior. 
Laki-laki yang to be honest senyumnya manis itu tertawa kecil kearah gue. Sontak gue dibikin bingung, ngapain coba dia ketawa. 
"Udah dong. Gue malah punya DVD nya."
Singkat. Padat. Jelas. Satu kalimat yang Avior ucapkan membuat gue seperti pengin nyuruh dia untuk buru-buru sampe rumah.
What?! Gue pinjem!” teriak gue di dalem mobil.
Avior memegangi telinga sebelah kirinya. “Nggak usah teriak kali,” katanya. “Iya udah, gimana kalo ntar aja kita nonton film nya bareng? Mau?”
“MAU!”
Senyuman nggak henti-hentinya menghiasi wajah gue yang sebelas-duabelas sama wajah nya Maudy Ayunda. Eh. Nggak deng. Hahahaha…
Pada intinya gue terus SENYUM selama perjalanan dari sekolah ke rumah. Dan ini adalah pertama kalinya gue ngerasa seneng punya temen kayak Avior cuma gara-gara Film Refrain. How amazing that’s movie. Hahahaha…
***
“Yuk, berangkat!”
Pagi ini gue dan Avior seperti biasa berangkat bareng ke sekolah. Namun, ada hal yang berubah; keadaan. Udah dua bulan berlalu sejak fenomena akur nya gue sama Avior yang hanya gara-gara Film Refrain. Jujur, gue agak geli. Kenapa kita bisa jadi deket gini hanya gara-gara satu film. Dan, yang bikin gue lebih geli adalah waktu ngeliat koleksi DVD di kamar Avior beberapa bulan yang lalu. Ternyata laki-laki yang gue kira galak dan garang ini punya banyak koleksi DVD film romance. Satu aliran lah sama gue.
“Nanti pulang sekolah gue mau ke perpus dulu, cari buku untuk bahan makalah,” ucap gue ketika turun dari mobil.
“Oh gitu. Ya nanti gue tunggu di parkiran aja, ya,” jawabnya.
Gue hanya membalas jawaban Avior dengan anggukan dan senyuman. Dia lalu senyum balik ke gue.
Bahkan karena terlalu lamanya kita nggak akur, bikin gue nggak sadar kalau Avior punya senyum semanis itu. Tiba-tiba jantung gue dag-dig-dug nggak karuan.
Ya ampun, gue kenapa…
***
Pinky swear kitty swear banana cherry strawberry swear… Satu hal yang mesti gue katakan kali ini adalah…. Refrain bener-bener ngeubah keadaan tiga ratus enam puluh derajat!
Kenapa? Karena….
Siang ini gue sama Avior pulang sekolah lebih awal, ada rapat dewan guru. Nggak ada yang beda sih dari hari-hari biasanya. Kita tetep pulang bareng naik mobil Jazz milik Avior.
Lunch bareng, yuk?” ajak Avior secara tiba-tiba. TIBA-TIBA.
“Lo ngajakin gue?”
“Iyalah, siapa lagi coba yang ada di dalem mobil selain lo sama gue? Haha…”
“Hehehe, iya ya.” Gue tiba-tiba salting. Entah apa penyebabnya. Perasaan dag-dig-dug di dada gue kembali terasa lagi. Jangan-jangan…gue naksir Avior. Ahhh, NO!
Mobil Jazz yang Avior kendarai berhenti disalah satu Restaurant Seafood kesukaan gue. Kita makan siang bareng disana. Sambil menunggu pesanan dateng, kita ngobrol-ngobrol.
“Sadar nggak sih kenapa kita bisa sedeket ini sekarang, Dy? Padahal dulu nggak pernah akur, ya, hahaha…”
“Sadar dong, karena Film Refrain kan? Hahaha, iya, tapi itu juga karena lo duluan yang bikin perang antara kita.”
“Haha, iya. Gara-gara satu film aja kita bisa jadi kayak gini, ya. Okelah, gue yang salah.” Avior tampak mengalah setelah gue ‘memojokkan’ dia.
Kini gue membuka suara pertama. “Gue pengin banget kayak Niki.”
Avior menaikkan satu alisnya.
Gue mengangguk. “Iya, gue pengin punya kehidupan kayak dia. Keren banget. Sekolahnya bagus, terus dia nya cantik, manis pula.” Entah angin apa yang bikin gue curhat ke Avior siang ini.
“Lo masih sama, ya, kayak Audya kecil dulu. Hahaha…”
“Maksud lo?” tanya gue.
“Iya, lo masih sama kayak Audya kecil yang sekalinya terobsesi sama satu film pasti pengin langsung jadi seperti tokoh di film itu,” jawab Avior sambil tertawa kecil. “Gue inget banget waktu kecil lo minta dibeliin baju dan sepatu kayak Barbie yang di tv itu,” kenang Avior.
“Dan yang paling bikin gue ketawa ngingetnya adalah waktu lo ngerengek-rengek minta dipotong rambut kayak dora dan minta beli segala sesuatu yang dora miliki. Hahaha, lo kira ada boots di dunia nyata. Hahaha…” tawa Avior makin pecah mengenang masa kecil gue.
“Ih, lo mah jangan ngingetin yang begituan. Malu tau!” Gue pura-pura marah.
“Bercanda, haha…” Dia ketawa (lagi). Jujur gue seneng liat Avior ketawa. Manis banget.
“Sebenernya lo nggak perlu berharap punya kehidupan kayak Niki ataupun Maudy Ayunda. Lo bahkan lebih dari mereka,” ujar Avior yang kontan membuat gue bingung.
“Iya. Lo itu cantik, manis, dan mungkin kehidupan lo bakalan sebagus atau mungkin lebih bagus dibanding kehidupan Niki,” lanjut Avior. “Lagipula Refrain kan cuma film karangan manusia kan? Jadi, nggak mungkinlah terjadi di dunia.”
Gue berusaha menutupi muka gue yang memerah karena pujian Avior.
“Tapi, gue pengin… banget.” Sifat keras kepala gue mulai keluar. “Nothing impossible kan?”
“Oke oke.” Nampaknya Avior mulai mengalah dengan perdebatan kami. “Emang nggak ada yang gak mungkin di dunia ini. Tapi, seperti yang gue bilang tadi, lo memiliki apa yang tokoh film itu miliki. Lo udah kayak Niki kok. Beneran deh. Jadi, mau apa lagi?”
“Hahaha, makasih pujiannya,” ucap gue. “Tapi, gue nggak punya sosok Nata.”
Kali ini Avior diam, nggak ngejawab lagi. Dia seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat. Namun, belum sempat Avior menjawab, makanan yang kami pesan datang.
“Selamat makan Maudy Ayunda KW super…” Avior tersenyum mengejek.
“Sialan!” Gue tertawa malu.
Siang itu, perdebatan tentang Film Refrain bukan merenggangkan hubungan gue sama Avior. Malahan sebaliknya, kami semakin dekat. Dekat. Sangat dekat.
***
“Ikut gue!” Avior menarik tangan gue menuju taman belakang sekolah yang ukurannya agak kecil.
“Ngapain kesini?” tanya gue kebingungan. Gue berusaha keras mengendalikan kinerja jantung yang mulai berdetak nggak beraturan.
“Mungkin tanpa gue kasih tau lo sendiri bisa nebak,” kata Avior yang membuat gue semakin kebingungan. “Lo pasti tau kalo dari dulu gue suka sama lo. Dari awal SMP, gue selalu cari cara biar kita akur dan bisa deket. Tapi, nggak ada yang mempan. Setiap hal yang gue lakuin malah makin bikin lo kesel sama gue.”
“Ketika gue nyaris nyerah untuk dapetin lo, tiba-tiba hal kecil yang nggak gue duga bikin kita sedeket ini. Film Refrain. Gue nggak nyangka kalo film itu bisa bikin gue selalu deket sama lo,” tambah Avior.
Tangan gue berkeringat dingin denger omongan Avior. Nggak bisa bohongin perasaan sendiri, sejak awal pulang-pergi sekolah sama Avior gue emang ngerasa seneng. Walau terkadang kesel juga sih. Dan gue akui gue juga suka sama dia.
“Gu… gue…” Belum sempat gue nyelesaiin kalimat, Avior udah bicara lagi.
“Gue emang nggak bisa jadi seorang Nata buat lo. Gue emang nggak kayak Afgan di Film Refrain. Tapi, gue tulus sayang sama lo, Dy.”
“Tanpa lo perlu menjadi kayak Nata pun bukan masalah buat gue. Gue juga sayang sama lo,” jawab gue dengan wajah sumringah.
Avior tersenyum lebar. “Gue janji akan bikin hidup lo seperti lebih keren dari Film Refrain.”
Gue membalasnya dengan tawa kecil.
Suasana tiba-tiba hening hingga Avior mulai bicara lagi. Dia mengenggam jemari gue.
It’s always been you...
It’s always been you, too…”
Kami saling melempar senyum. Suasana terasa romantis banget.
“Eh, ngomong-ngomong artinya apaan, ya?” tanya Avior dengan muka bodoh.
“Gila, kampret! Hahahaha…” Tawa kami berdua pecah.
Kemudian gue dan Avior berjalan beriringan meninggalkan taman. Avior tiba-tiba mendekatkan bibirnya ke telinga gue. Lalu berbisik, “Kita tanya Maudy Ayunda dan Afgan tentang arti yang tadi, yuk!”
Gue mendelik kearah Avior. Kami tertawa (lagi).
***
Refrain mengubah segalanya. Film sederhana tapi luar biasa buat gue. Sebuah film yang menyatukan gue dengan Avior. Sebuah film yang membuat sebuah kerenggangan menjadi rapat. Sebuah film yang membuat gue sadar bahwa itu hanya film. Film bukan kenyataan. Sekalipun gue merengek pengin kayak Maudy Ayunda, apa Mama gue bisa jadiin gue seperti itu? Nggak.
Refrain juga bikin gue berhenti berharap lebih dari diri seseorang. Refrain bikin gue dan Avior menjadi satu. Yang kemudian membuat gue sadar bahwa mencintai diri sendiri lebih baik dibanding mengelu-elukan milik orang lain. Maudy Ayunda emang cantik. Ya terus gue mau apa?
Satu hal lagi yang membuat gue semakin mencintai Film Refrain. Refrain memang membuat gue jatuh cinta pada Niki dan Nata. Tapi, Refrain juga membuat gue berhenti berharap menjadi seorang ‘Niki’ dan memiliki ‘Nata’. Karena gara-gara Refrain gue nemuin Nata untuk diri gue. Avior adalah Nata gue. 
Gara-gara Refrain gue gila. Gara-gara Refrain gue bersatu dengan Avior. Semua gara-gara Refrain. 

-C-

Kamis, 09 Januari 2014

Perasaan Itu Lagi

 Perasaan itu kurasakan lagi untuk kesekian kalinya... 

Aku tidak yakin jika perasaan ini telah sirna sepenuhnya. Suaramu yang merasuk kedalam gendang telingaku tadi siang, membuat jantung ini kembali berdebar tak menentu. Kamu seperti kembali mengisi relung hati yang dengan sengaja kukosongkan untuk beberapa saat. Untuk menghindari hal yang kita sebut; patah hati.

Aku tertawa mengingat apa yang sempat terucap dari bibirku dalam beberapa minggu terakhir ini. Dengan pede-nya aku mengatakan bahwa sudah tak ada lagi rasa untukmu. Dengan berani nya aku mengatakan bahwa aku telah melupakanmu. Tapi, apa? Apa namanya jantung-yang-berdebar-begitu-kencang ketika aku mendengar suaramu yang menggelegar itu? Apa itu cinta atau bukan? Atau hanya perasaan seorang gadis remaja ketika melihat lawan jenis yang ia kagumi? Aku heran. Heran dengan diriku sendiri. 

Tubuh tegap, suara keras, dan sorot matamu seperti menembak tubuhku hingga terlempar ke masa lalu. Masa saat kita pertama kali bertemu. Saat kau dan aku sama-sama tak menyangka bahwa ada perasaan berbeda diantara kita. Sebuah perasaan yang berawal dari candaan-ejekan yang terlontar dari mulutku ataupun mulutmu. 

Kembali lagi pada topik awal. Aku tidak yakin jika perasaan ini telah sirna sepenuhnya. Tapi, aku tidak pernah merasa sedikitpun marah ketika melihat kaudekat dengan siapapun di dunia maya. Namun, ketika bertemu denganmu didunia nyata, jantungku seperti berdetak sepuluh kali lebih kencang. Aaaah! Aku membenci perasaan ini. Kenapa aku harus berkenalan dengan hal yang bernama cinta? Aku harus mengejar cita-citaku terlebih dahulu, tapi cinta selalu menghalanginya. Sebenarnya siapa yang salah? Kehadiran cinta atau aku yang tak mampu mengendalikan perasaanku sendiri? GILA! Lama-lama mungkin aku menjadi gila jika memikirkan hal ini terus-menerus. Kuputuskan untuk BERUSAHA melupakan hal ini; cinta. 

Bukankah belum waktunya gadis seumuranku mengenal hal yang namanya cinta? Lalu apa maksud Tuhan mengenalkanku pada sesuatu yang rumitnya melebihi teorema phytagoras ini? Entahlah... Rencana Tuhan tidak pernah bisa kuduga akhirnya. 

-C-