Desir
angin memainkan anak rambutku yang tidak ikut terikat karet rambut yang
kupakai. Bukan salah anak rambutku, tetapi sepoi angin di tempat sepi inilah
tersangkanya. Butuh tiga puluh menit untukku tiba di tempat ini. Aku selalu
pergi ke tempat ini saat merasa lelah. Sebuah bangku karat di ujung taman kota
adalah tempat kesukaanku. Dan saat ini, sungguh aku lelah. Berdiam diri di
sudut ini, membuatku sedikit lebih tenang, memang. Namun, tidak sepenuhnya
membuatku lupa dengan...
“Ngapain kamu di sini?” Sebuah suara
membuyarkan lamunanku. Suara terlembut―setelah suara ibuku―yang pernah aku
dengar. “Merasa bosan dengan dunia, hm?”
Aku sebenarnya sudah tidak asing
dengan suara itu. Saat aku berada dalam masa-masa tersulit dalam hidupku, dia selalu
muncul dimanapun aku berada. Awalnya aku takut, tapi perlahan aku yakin bahwa
dia baik.
Aku meliriknya sekilas. Dia masih
sama seperti pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Rambut panjang lurusnya
tergerai bebas yang mirip sekali dengan rambutku saat digerai. Pakaiannya pun
itu-itu saja; kemeja putih polos berlengan panjang yang sedikit kebesaran dan
celana bahan dengan warna yang sama. Pertemuan pertama kami dulu di atas batu
karang di pantai, dengan pakaian yang sama, orang aneh ini menjadi pendengar
yang baik untukku.
“Apa kamu terlalu sibuk mengurus
urusan orang sampai-sampai tidak pernah berganti baju?”
“Hm, mungkin,” dia menggumam, “namun
setidaknya aku tidak pernah mengganti baju berkali-kali saat akan pergi ke
suatu tempat.”
“Heh, menyindir?”
Dia tertawa pelan.
Kemudian hening memisahkan aku dan
dia. Angin sepoi kembali terasa menyejukkanku. Dan disaat bersamaan, membuatku
teringat padanya.
“Sebenarnya apa yang kamu inginkan?”
tanyanya. Aku tidak kaget jika dia tiba-tiba bisa membaca pikiranku, kurasa dia
memang memiliki kemampuan itu. “Bahkan kamu sendiri tidak tahu apa yang
kauinginkan, gadis bodoh.”
“Itu berarti kamu tidak pantas duduk
di sebelahku yang seorang gadis bodoh,” ucapku tanpa mengalihkan pandanganku
yang sejak tadi lurus ke depan.
Dia terkekeh. “Jika aku yang tidak
pernah berganti baju ini tidak pantas duduk di dekat seorang gadis bodoh
sepertimu, bagaimana mungkin kamu jatuh cinta kepada lelaki baik seperti dia?
Apa sebagai seorang gadis bodoh sepertimu pantas dengannya?”
“Apa maksudmu?”
“Kau sudah bodoh, jangan berlagak
lebih bodoh.”
Sekarang aku yang tertawa.
“Setidaknya dengan menjadi bodoh, aku bisa membuat orang-orang bahagia karena
kebodohanku.”
“Dan membuat orang-orang tidak
mengetahui kesedihanmu,” dia melanjutkan ucapanku.
“Nggak
penting,” sahutku ketus.
Dia mengangguk-ngangguk. “Lantas,
apa sebenarnya yang kamu inginkan?”
“Kenapa kamu selalu menanyakan itu?”
Aku mulai gerah dengan pertanyaannya.
“Kenapa untuk menjawab pertanyaan
sesederhana itu saja kamu tidak mampu, hm?”
Aku menarik napas panjang. Berusaha
menghilangkan sesak yang tiba-tiba kurasakan. “Aku hanya ingin....”
“...dia tidak pergi,” dia menyambung
ucapanku. Kemudian tertawa pelan. “Sebenarnya aku sudah mengetahui. Hanya saja
aku ingin kamu mengucapkannya sendiri.”
Aku diam saja.
“Yang kamu inginkan sebenarnya
adalah dia agar tidak pergi. Sehingga kamu berusaha membuat dirimu terikat
dalam suatu hubungan dengannya. Kamu berusaha membuat dia kembali memiliki
perasaan seperti dulu kepadamu.” Dia menggulung kemeja putih panjangnya sampai
sesiku. Lantas melanjutkan, “kamu kira semudah itu? Mengembalikan perasaan yang
sudah dikuburnya dalam-dalam... cih,
dasar kamu gadis bodoh... dan egois.”
“Aku terlalu malas untuk berdebat
denganmu,” balasku.
“Mana mungkin kamu bisa mendebatku
jika semua yang aku katakan adalah fakta,” katanya, “fakta yang selalu kamu
hindari, gadis bodoh yang egois.”
“Katakan apa yang ingin kamu
katakan, aku tidak akan menangis kok,”
ucapku, malas.
“Tentu kamu tidak akan menangis,
karena yang mampu membuat seorang gadis bodoh dan egois sepertimu itu menangis
hanya sebuah pengabaian dan rasa penyesalan karena pernah menyianyiakan
ketulusan seseorang.”
“Hm,” aku menunduk. Hanya
membalasnya dengan gumaman.
“Mau tidak mau, suka tidak suka,
siap tidak siap.... dia tetap akan pergi,” ucapnya memancing keresahanku.
“Semua ini salahmu sudah menyianyiakan dia dulu. Jika sekarang dia pergi, meski
kamu berusaha menahannya, itu semua akan percuma. Semua akan sia-sia.
Perasaannya sudah kamu hancurkan dulu. Yang sudah rusak, akan sulit kembali
seperti dulu lagi.”
“Apa kamu pernah membaca buku Rectoverso karya Dee Lestari? Ada satu
kutipan yang cocok untuk dirimu,” kataku datar.
Ia menggeleng. “Apa?”
“Kita bukan malaikat yang bisa
mengetahui perasaan orang lain.”
“Tentu..., kamu pun bukan
malaikat...,” ucapnya menggantung, “yang dapat mengatakan bahwa lelaki itu
tidak menyayangimu lagi hanya karena perkara pesan singkat yang diabaikan.
Bagaimana mungkin kamu mengukur kesetiaan seseorang dari sebuah pesan singkat?”
“Maksudmu apa? Tadi kamu berkata
seolah-olah dia sudah tidak menginginkan aku lagi, tetapi sekarang kamu
menyalahkan aku atas dugaanku tentang dia...,” aku menggeleng heran, “lagipula
kamu tahu darimana soal semua masalahku ini?”
“Kamu selalu menghindariku setiap
kali berada dalam kebimbangan. Cinta bukan perkara satu tambah satu yang bisa
kamu kerjakan dengan logika. Andai dulu kamu mendengarkanku, bukan logika
jeniusmu itu, maka saat ini kamu tidak akan seperti ini,” suaranya berubah
serius, “kamu mempercayakan sepenuhnya pilihan hidupmu dengan berpikir. Bukan
merasakan.”
“Apa maksudmu? Mendengarkanmu? Dulu?
Ini bahkan merupakan kali pertama aku berbagi masalah tentang lelaki ini
padamu...,” aku kembali menggeleng, lantas menghadapnya dan berkata, “siapa
kamu sebenarnya? Kenapa juga aku harus mengikuti katamu?”
“Gadis bodoh yang egois, sebenarnya
kauhanya bodoh saja jikalau mau mendengarkan apa yang aku katakan. Jangan
melawan aku,” katanya lagi.
“Siapa kamu? Kaubahkan bukan ibuku.”
“Aku lebih dari ibumu, gadis bodoh
yang egois.”
Aku mengernyit. “Siapa kamu?”
Dia tersenyum. “Dengarkan aku sekali
lagi gadis bodoh, berhentilah menjadi egois,” ucapnya pelan, lalu melanjutkan,
“waktu akan terus berjalan tanpa peduli meski kauberusaha menahannya. Dia pasti
akan tetap pergi apapun yang terjadi. Kita bukan malaikat tentunya, jadi tidak
bisa menebak apa isi hati lelaki pujaanmu itu. Tapi kita bisa membuat lelaki
itu tetap menjadi milikmu kalau kaumau mendengar apa yang kukatakan. Meski
tanpa jaminan bahwa dia akan menerimamu setelah semua yang kamu lakukan
padanya, namun aku berani menjamin, bahwa dia cukup baik untuk gadis sebodoh
dan egois sepertimu,” dia terdiam sesaat, “kembali selagi ada waktu. Dia
baik..., tunjukkan bahwa kamu pantas untuknya. Dia tidak akan benar-benar pergi
jika kamu tidak benar-benar melepasnya. Dibanding sahabat-sahabatmu, ucapanku
mungkin tidak seratus persen benar, tetapi dengan menjalankan apa yang
kukatakan, hidupmu setidaknya akan lebih lega, tidak ada yang tertahan.”
“Kenapa kamu berkata seakan itu
semua sebegitu mudahnya, hah? Kamu tidak pernah memikirkan―”
“Kauterlalu banyak berpikir. Cinta
itu buta akan logika. Selama semua ini tidak menyakiti pihak manapun, lakukan
saja. Apa lagi yang kamu pikirkan? Gengsi? Cih,
dasar egois.”
Aku tidak mampu lagi menahan sakit
di dadaku. Air mataku tumpah begitu saja.
“Kenapa serumit ini? Aku hanya ingin
dia tetap di sini dan mengetahui perasaanku...,” lirihku.
“Apanya yang rumit? Gengsimu membuat
semua menjadi terasa rumit. Kauingin dia mengetahui perasaanmu tanpa kamu
mengungkapkannya? Kaukira dia malaikat?”
Habis kata-kataku melawannya. Nyaris
semua yang dia katakan adalah kebenaran yang aku hindari.
“Ya, kamu menghindariku, gadis
bodoh. Aku tidak akan memanggilmu egois lagi jika kaumau berhenti mencari
pembenaran. Kebenaran, itu yang perlu kamu temukan, bukan pembenaran atas semua
perbuatanmu. Temukan kebenaran itu di sini,” ia menyentuh dada kirinya, “kejar
dia sebelum pergi lagi. Jangan meminta agar kau dikejar saja. Jangan egois,
gadis bodoh.”
Ia beranjak dari duduknya.
“Jadi, siapa kamu?”
Langkahnya tertahan. “Jangan
menghindariku terus menerus, ikuti kataku. Aku adalah kamu.”
Aku menatap arah lain, lalu kembali
menoleh ke arah dimana dia ber...
Dia menghilang.
Kebiasaannya yang aku benci.
Tiba-tiba seorang penjaja minuman
menghampiriku. “Mau minum, mbak?”
“Air mineralnya satu,” ucapku sambil
tersenyum.
Dia menyerahkanku sebotol minuman.
“Mbak, betah banget sih daritadi bengong di sini... sendirian pula.”
Ucapannya membuatku tercengang.
Lalu si orang aneh penuh nasehat itu siapa?
“Daritadi saya liatin mbak dari
sana,” dia menunjuk sebuah tempat rindang di bawah pohon yang tak jauh dari
tempatku, “muka mbak kayak orang lagi bertengkar. Mbak banyak masalah, ya?
Kalau iya, berdebat sama diri sendiri itu wajar kok... ikutin aja kata hati,”
kata pedagang minuman ini sambil menyerahkan kembalian. “Saya permisi, mbak.”
Aku menatap punggungnya yang berjalan
menuju segerombol orang dewasa yang sedari tadi memanggilnya. Apa yang dia
katakan tadi?
Aku
berdebat dengan diri sendiri? Jadi, orang aneh tadi itu setan? Atau sejenis
iblis baik hati?
Aku menggeleng pelan. Mungkin sudah
saatnya aku pulang.
Jangan
lupa, kejar dia, jika kamu tidak ingin dia pergi.
Suara orang aneh itu terdengar lagi.
Tapi dia tidak nampak ada.
Jangan
terus menghindariku. Aku adalah kamu.
Aku adalah yang sering kamu hindari karena logikamu itu, gadis bodoh yang masih
saja egois.
**
-C-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar