Minggu, 17 Mei 2015

Kata Hati - #6




Desir angin memainkan anak rambutku yang tidak ikut terikat karet rambut yang kupakai. Bukan salah anak rambutku, tetapi sepoi angin di tempat sepi inilah tersangkanya. Butuh tiga puluh menit untukku tiba di tempat ini. Aku selalu pergi ke tempat ini saat merasa lelah. Sebuah bangku karat di ujung taman kota adalah tempat kesukaanku. Dan saat ini, sungguh aku lelah. Berdiam diri di sudut ini, membuatku sedikit lebih tenang, memang. Namun, tidak sepenuhnya membuatku lupa dengan...
            “Ngapain kamu di sini?” Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Suara terlembut―setelah suara ibuku―yang pernah aku dengar. “Merasa bosan dengan dunia, hm?”
            Aku sebenarnya sudah tidak asing dengan suara itu. Saat aku berada dalam masa-masa tersulit dalam hidupku, dia selalu muncul dimanapun aku berada. Awalnya aku takut, tapi perlahan aku yakin bahwa dia baik.
            Aku meliriknya sekilas. Dia masih sama seperti pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Rambut panjang lurusnya tergerai bebas yang mirip sekali dengan rambutku saat digerai. Pakaiannya pun itu-itu saja; kemeja putih polos berlengan panjang yang sedikit kebesaran dan celana bahan dengan warna yang sama. Pertemuan pertama kami dulu di atas batu karang di pantai, dengan pakaian yang sama, orang aneh ini menjadi pendengar yang baik untukku.
            “Apa kamu terlalu sibuk mengurus urusan orang sampai-sampai tidak pernah berganti baju?”
            “Hm, mungkin,” dia menggumam, “namun setidaknya aku tidak pernah mengganti baju berkali-kali saat akan pergi ke suatu tempat.”
            “Heh, menyindir?”
            Dia tertawa pelan.
            Kemudian hening memisahkan aku dan dia. Angin sepoi kembali terasa menyejukkanku. Dan disaat bersamaan, membuatku teringat padanya.
            “Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” tanyanya. Aku tidak kaget jika dia tiba-tiba bisa membaca pikiranku, kurasa dia memang memiliki kemampuan itu. “Bahkan kamu sendiri tidak tahu apa yang kauinginkan, gadis bodoh.”
            “Itu berarti kamu tidak pantas duduk di sebelahku yang seorang gadis bodoh,” ucapku tanpa mengalihkan pandanganku yang sejak tadi lurus ke depan.
            Dia terkekeh. “Jika aku yang tidak pernah berganti baju ini tidak pantas duduk di dekat seorang gadis bodoh sepertimu, bagaimana mungkin kamu jatuh cinta kepada lelaki baik seperti dia? Apa sebagai seorang gadis bodoh sepertimu pantas dengannya?”
            “Apa maksudmu?”
            “Kau sudah bodoh, jangan berlagak lebih bodoh.”
            Sekarang aku yang tertawa. “Setidaknya dengan menjadi bodoh, aku bisa membuat orang-orang bahagia karena kebodohanku.”
            “Dan membuat orang-orang tidak mengetahui kesedihanmu,” dia melanjutkan ucapanku.
            Nggak penting,” sahutku ketus.
            Dia mengangguk-ngangguk. “Lantas, apa sebenarnya yang kamu inginkan?”
            “Kenapa kamu selalu menanyakan itu?” Aku mulai gerah dengan pertanyaannya.
            “Kenapa untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu saja kamu tidak mampu, hm?”
            Aku menarik napas panjang. Berusaha menghilangkan sesak yang tiba-tiba kurasakan. “Aku hanya ingin....”
            “...dia tidak pergi,” dia menyambung ucapanku. Kemudian tertawa pelan. “Sebenarnya aku sudah mengetahui. Hanya saja aku ingin kamu mengucapkannya sendiri.”
            Aku diam saja.
            “Yang kamu inginkan sebenarnya adalah dia agar tidak pergi. Sehingga kamu berusaha membuat dirimu terikat dalam suatu hubungan dengannya. Kamu berusaha membuat dia kembali memiliki perasaan seperti dulu kepadamu.” Dia menggulung kemeja putih panjangnya sampai sesiku. Lantas melanjutkan, “kamu kira semudah itu? Mengembalikan perasaan yang sudah dikuburnya dalam-dalam... cih, dasar kamu gadis bodoh... dan egois.”
            “Aku terlalu malas untuk berdebat denganmu,” balasku.
            “Mana mungkin kamu bisa mendebatku jika semua yang aku katakan adalah fakta,” katanya, “fakta yang selalu kamu hindari, gadis bodoh yang egois.”
            “Katakan apa yang ingin kamu katakan, aku tidak akan menangis kok,” ucapku, malas.
            “Tentu kamu tidak akan menangis, karena yang mampu membuat seorang gadis bodoh dan egois sepertimu itu menangis hanya sebuah pengabaian dan rasa penyesalan karena pernah menyianyiakan ketulusan seseorang.”
            “Hm,” aku menunduk. Hanya membalasnya dengan gumaman.
            “Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap.... dia tetap akan pergi,” ucapnya memancing keresahanku. “Semua ini salahmu sudah menyianyiakan dia dulu. Jika sekarang dia pergi, meski kamu berusaha menahannya, itu semua akan percuma. Semua akan sia-sia. Perasaannya sudah kamu hancurkan dulu. Yang sudah rusak, akan sulit kembali seperti dulu lagi.”
            “Apa kamu pernah membaca buku Rectoverso karya Dee Lestari? Ada satu kutipan yang cocok untuk dirimu,” kataku datar.
            Ia menggeleng. “Apa?”
            “Kita bukan malaikat yang bisa mengetahui perasaan orang lain.”
            “Tentu..., kamu pun bukan malaikat...,” ucapnya menggantung, “yang dapat mengatakan bahwa lelaki itu tidak menyayangimu lagi hanya karena perkara pesan singkat yang diabaikan. Bagaimana mungkin kamu mengukur kesetiaan seseorang dari sebuah pesan singkat?”
            “Maksudmu apa? Tadi kamu berkata seolah-olah dia sudah tidak menginginkan aku lagi, tetapi sekarang kamu menyalahkan aku atas dugaanku tentang dia...,” aku menggeleng heran, “lagipula kamu tahu darimana soal semua masalahku ini?”
            “Kamu selalu menghindariku setiap kali berada dalam kebimbangan. Cinta bukan perkara satu tambah satu yang bisa kamu kerjakan dengan logika. Andai dulu kamu mendengarkanku, bukan logika jeniusmu itu, maka saat ini kamu tidak akan seperti ini,” suaranya berubah serius, “kamu mempercayakan sepenuhnya pilihan hidupmu dengan berpikir. Bukan merasakan.”
            “Apa maksudmu? Mendengarkanmu? Dulu? Ini bahkan merupakan kali pertama aku berbagi masalah tentang lelaki ini padamu...,” aku kembali menggeleng, lantas menghadapnya dan berkata, “siapa kamu sebenarnya? Kenapa juga aku harus mengikuti katamu?”
            “Gadis bodoh yang egois, sebenarnya kauhanya bodoh saja jikalau mau mendengarkan apa yang aku katakan. Jangan melawan aku,” katanya lagi.
            “Siapa kamu? Kaubahkan bukan ibuku.”
            “Aku lebih dari ibumu, gadis bodoh yang egois.”
            Aku mengernyit. “Siapa kamu?”
            Dia tersenyum. “Dengarkan aku sekali lagi gadis bodoh, berhentilah menjadi egois,” ucapnya pelan, lalu melanjutkan, “waktu akan terus berjalan tanpa peduli meski kauberusaha menahannya. Dia pasti akan tetap pergi apapun yang terjadi. Kita bukan malaikat tentunya, jadi tidak bisa menebak apa isi hati lelaki pujaanmu itu. Tapi kita bisa membuat lelaki itu tetap menjadi milikmu kalau kaumau mendengar apa yang kukatakan. Meski tanpa jaminan bahwa dia akan menerimamu setelah semua yang kamu lakukan padanya, namun aku berani menjamin, bahwa dia cukup baik untuk gadis sebodoh dan egois sepertimu,” dia terdiam sesaat, “kembali selagi ada waktu. Dia baik..., tunjukkan bahwa kamu pantas untuknya. Dia tidak akan benar-benar pergi jika kamu tidak benar-benar melepasnya. Dibanding sahabat-sahabatmu, ucapanku mungkin tidak seratus persen benar, tetapi dengan menjalankan apa yang kukatakan, hidupmu setidaknya akan lebih lega, tidak ada yang tertahan.” 
            “Kenapa kamu berkata seakan itu semua sebegitu mudahnya, hah? Kamu tidak pernah memikirkan―”
            “Kauterlalu banyak berpikir. Cinta itu buta akan logika. Selama semua ini tidak menyakiti pihak manapun, lakukan saja. Apa lagi yang kamu pikirkan? Gengsi? Cih, dasar egois.”
            Aku tidak mampu lagi menahan sakit di dadaku. Air mataku tumpah begitu saja.
            “Kenapa serumit ini? Aku hanya ingin dia tetap di sini dan mengetahui perasaanku...,” lirihku.
            “Apanya yang rumit? Gengsimu membuat semua menjadi terasa rumit. Kauingin dia mengetahui perasaanmu tanpa kamu mengungkapkannya? Kaukira dia malaikat?”
            Habis kata-kataku melawannya. Nyaris semua yang dia katakan adalah kebenaran yang aku hindari.
            “Ya, kamu menghindariku, gadis bodoh. Aku tidak akan memanggilmu egois lagi jika kaumau berhenti mencari pembenaran. Kebenaran, itu yang perlu kamu temukan, bukan pembenaran atas semua perbuatanmu. Temukan kebenaran itu di sini,” ia menyentuh dada kirinya, “kejar dia sebelum pergi lagi. Jangan meminta agar kau dikejar saja. Jangan egois, gadis bodoh.”
            Ia beranjak dari duduknya.
            “Jadi, siapa kamu?”
            Langkahnya tertahan. “Jangan menghindariku terus menerus, ikuti kataku. Aku adalah kamu.”
            Aku menatap arah lain, lalu kembali menoleh ke arah dimana dia ber...
            Dia menghilang.
            Kebiasaannya yang aku benci.
            Tiba-tiba seorang penjaja minuman menghampiriku. “Mau minum, mbak?”
            “Air mineralnya satu,” ucapku sambil tersenyum.
            Dia menyerahkanku sebotol minuman. “Mbak, betah banget sih daritadi bengong di sini... sendirian pula.”
            Ucapannya membuatku tercengang.
            Lalu si orang aneh penuh nasehat itu siapa?
            “Daritadi saya liatin mbak dari sana,” dia menunjuk sebuah tempat rindang di bawah pohon yang tak jauh dari tempatku, “muka mbak kayak orang lagi bertengkar. Mbak banyak masalah, ya? Kalau iya, berdebat sama diri sendiri itu wajar kok... ikutin aja kata hati,” kata pedagang minuman ini sambil menyerahkan kembalian. “Saya permisi, mbak.”
            Aku menatap punggungnya yang berjalan menuju segerombol orang dewasa yang sedari tadi memanggilnya. Apa yang dia katakan tadi?
            Aku berdebat dengan diri sendiri? Jadi, orang aneh tadi itu setan? Atau sejenis iblis baik hati?
            Aku menggeleng pelan. Mungkin sudah saatnya aku pulang.
            Jangan lupa, kejar dia, jika kamu tidak ingin dia pergi.
            Suara orang aneh itu terdengar lagi. Tapi dia tidak nampak ada.
            Jangan terus menghindariku. Aku adalah kamu. Aku adalah yang sering kamu hindari karena logikamu itu, gadis bodoh yang masih saja egois.
**
-C-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar