Sabtu, 09 Mei 2015

(Lagi) #1

Bagaimana mungkin seseorang memintaku untuk tetap diam—jangan pergi—disaat yang bersamaan tak ada alasan yang bisa kugunakan ‘tuk bertahan?

Jika malam ini semua bisa terukir, lantas pantaskah aku memilih berakhir?
Jika malam ini segalanya berbaur, lantas bolehkah aku putuskan mundur?
Jika malam ini semua tak sama lagi, apa itu tanda bahwa sudah saatnya aku pergi?

Aku ingin berhenti. Tapi takut. Aku ingin terus melangkah. Tapi gugup. Selain tetap disini dan pergi, tidak adakah opsi lain?

Seperti ada duri dalam kaki; aku diam, terasa sakitnya—kumelangkah, pun makin sakitnya.

Maunya apa?

Mungkin ini yang dimaksud ‘jangan menyia-nyiakan kesempatan’. Kesempatan kedua tidak selalu ada. Dan, kesempatan ketiga sungguh tidak mudah.

Seperti kilat yang begitu cepat, perasaan ini pun datang selewat. Tanpa permisi dan memikirkan konsekuensi.

Bodoh.

Mana mungkin perasaan dapat berpikir. Dia tentu hanya merasakan, bukan memikirkan.

Seperti ada yang mendorong, aku dibuat tiba-tiba jatuh ke lubang yang kukira sudah jauh. Ternyata jaraknya hanya sejengkal rasa jenuh—yang mampu menghilang dan berubah jadi rindu yang menyerang.

Bodoh.

Mana mungkin sebuah rindu bisa kuartikan rasa ingin kembali seperti dulu.

Mungkin dan mungkin, ini hanya sebuah kebetulan. Satu godaan sebelum perpisahan.
Mungkin dan mungkin, ini yang akan menjadi kenangan nantinya. Yang bisa saja kuingat selama...—nya.

Semua terjadi sebagaimana harus terjadi. Aku hanya menunggu dan menunggu. Tidak ada jaminan. Semua tergantung waktu dan keadaan.

Cepatlah hampiri, sebelum aku pergi (lagi). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar