Rabu, 13 Mei 2015

- #4

13/5/15
11:09 PM

Setelah nyaris semua lagu dalam playlist kuputar, dan perlahan sosial media mulai terasa membosankan, aku menarik selimut berwarna merah kesayanganku sebatas perut. Aku menatap nanar langit-langit kamar yang berwarna hitam—karena lampu yang sudah kumatikan. Cahaya hanya berasal dari handphoneku yang sesekali kusentuh untuk mengecek adakah pesan terbaru darimu. Nihil.

Aku memeluk guling dengan erat. Perasaanku jadi lebih sensitif akhir-akhir ini. Terlebih aku sedang mendapat tamu bulananku. Hening sesaat, tiba-tiba air mataku mengalir. Entah karena apa. Rasanya ada yang hilang tercampur rasa takut yang tiba-tiba datang.

Karma yang kurasa tidak terasa menakutkan jika dibandingkan dengan ketakutanku akan perpisahan kita.

Perpisahan dalam kamusku adalah raga kita berpisah, pun cerita kita menggantung tanpa pernah dilanjutkan, selamanya.

Aku mencengkram erat selimutku setiap kali dadaku terasa sesak. Dan aku kembali menangis tanpa alasan.

Tangisan yang setiap pagi—saat aku bercermin—dalam beberapa hari terakhir ini, membuatku menemukan sosok zombie kecil. Mataku menghitam di bagian bawah, terkadang sembab, bibirku kering dan sesekali meringis menahan perutku yang perih karena hampir seminggu jadwal makanku tidak teratur—padahal ini bisa membunuhku perlahan karena maag akut yang kumiliki. Selain itu, rambutku yang berantakan karena mulai sering kuabaikan, dan tak lupa beberapa jerawat kecil karena aku bahkan lupa untuk mencuci muka sebelum tidur.

Hal ini membuatku enggan pergi ke sekolah. Lebih baik aku bergelung di bawah selimut, menikmati perasaan aneh yang menjalari diriku. Untung saja ujian telah berakhir.

Aku memang berlebihan dalam hal perasaan. Mungkin karena aku terlalu serius dalam menanggapinya. Mungkin karena sekalinya aku jatuh pada seseorang—aku benar-benar jatuh. Yah, inilah diriku dengan segala kekuranganku.

Dan itulah kamu dengan segala kemenanganmu; menang atas hatiku dan nyaris seluruh kewarasanku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar