Rabu, 13 Mei 2015

Jangan Pergi - #3

Aku mengetuk-ngetukkan jemari pada bangku kayu yang kududuki sedari tadi. Ini sudah lewat satu jam tiga puluh empat menit dari jam yang kamu janjikan. Andai saja kemarin kamu memberiku waktu untuk mengungkapkan, sebentar saja, mungkin hari ini aku tidak akan menunggu selama ini.

Tapi, tidak apa, ini tak sebanding dengan kamu yang telah menungguku seribu kali lebih lama dari sekadar satu jam tiga puluh empat menit.

"Hai," kamu tiba-tiba muncul di hadapanku, "ada apa?"

Aku tersenyum kikuk.

"Duduk dulu," kataku.

Kamu mengangguk. Matamu kembali melirikku. "Ada apa?"

Aku berusaha menetralkan degup jantung yang tak terkendali. Aku harus bicara. Aku harus berani.

Meski tersendat, kupaksakan terus berbicara, "A-aku minta maaf—"

"Minta maaf? Untuk apa?" tanyamu dengan wajah tak berekspresi. Kita sama-sama terdiam sesaat, sampai akhirnya kamu melanjutkan, "untuk semua gengsimu?"

Aku tiba-tiba membisu. Semua yang kususun dalam pikiran, lenyap seketika. Namun, disaat yang bersamaan, tatapanmu perlahan menghangat. Senyum lamamu kembali lagi.

Dan bibirmu mulai bercerita tanpa bisa kuhentikan.

"Kamu tahu," katamu, memulai, "Semua ini nggak mudah. Kamu kira segampang itu? Nggak."

"Aku perlu meyakinkan diri berkali-kali bahwa kamu itu yang terbaik. Aku berusaha mengumpulkan keberanian dan rasa percaya diri, aku memberi dukungan untuk diriku sendiri," lanjutmu.

"Y-ya, aku tahu," sahutku yang lebih mirip lirihan daripada ucapan.

Kamu kembali tersenyum.

"Tapi kamu nggak tahu, bagaimana rasanya...," kamu mengembuskan napas panjang, "ketika kamu menyukai seseorang, kamu selalu memikirkannya, kamu selalu bersemangat ke sekolah agar bisa bertemu dengannya, kamu menaruh banyak harapan padanya..., berharap dia membalas perasaanmu, entah itu terpaksa atau tidak. Lalu, tanpa membutuhkan waktu lama, akhirnya perasaanmu terbalas, dan secepat itu pula dia memutuskan hubungan kalian..."

Aku menunduk sedalam-dalamnya. Tidak berniat sedikitpun melirikmu yang masih terus berbicara.

"Putus seolah bukan akhir, kamu masih menaruh harapan padanya supaya kalian bisa kembali bersama, kamu masih terus mengejarnya, kamu masih menyayanginya, dan sifat juteknya tak berarti apa-apa, kamu tetap pada rasamu itu."

"Namun, perlahan kamu merasa semua usahamu itu sia-sia, dia tidak akan kembali lagi padamu, kemudian kamu coba untuk melupakan dia entah bagaimana caranya...," kamu kembali menatapku yang masih terpaku membisu, dan ceritamu selanjutnya adalah pemecah dinding air mataku, "hingga suatu hari dia kembali lagi, dia kembali dalam keadaan telah membuka hatinya untukmu..., tapi, apakah semudah membalikan telapak tangan kamu akan menerimanya lagi?"

Aku kalah telak. Bibirku mengatup rapat menahan isakan, hanya air mata yang mengalir dari ujung mataku.

Tiba-tiba kamu tertawa pelan, "kenapa menangis, hm?" tanyamu. "Hm, sorry, jadinya aku yang banyak bicara. Padahal kita bertemu karena kamu ada yang ingin dibicarakan, kan?"

Aku mengangguk pelan—tetapi masih larut dalam tangisanku sendiri.

"Kamu mau bilang apa? Aku nggak bisa lama-lama, aku harus pergi buat ngurus surat-surat untuk pindah—"

"Kamu beneran mau pergi?" Akhirnya aku bersuara, meski agak serak. "Jadi, kamu beneran mau pergi?"

Aku mendadak tidak dapat mengendalikan sifat agresifku. Tangisku hilang berubah ketakutan.

"Kenapa pergi? Kenapa harus pergi?"

Kamu menghela napas panjang seperti tadi lagi, lalu mengangguk pelan.

Sebaliknya, aku menggeleng cepat.

"Aku tahu, aku tahu rasanya seperti yang kamu ceritakan tadi. Bahkan aku merasakan sakit yang lebih. Aku tahu, aku salah. Aku minta maaf..."

Kamu beranjak dari dudukmu, dan berjalan sedikit menjauh. Tanpa mengucap sepatah katapun.

Aku menyusulmu, dan tepat saat aku berdiri di belakang punggungmu, perlahan aku berbicara, "aku tahu semua ini kesalahanku. Aku tahu aku bodoh menyianyiakan semua yang kamu lakukan. Aku sadar dengan semua kesalahanku. Aku tahu seharusnya aku tidak semudah itu pergi. Aku tahu seharusnya aku lebih bijak menanggapinya. A-aku tahu... aku tahu, aku salah..."

"B-bukankah kita bisa memulainya dari awal?" Aku menutup omonganku dengan sebuah pertanyaan yang lebih mirip sebuah pernyataan—atau permintaan.

Senja yang telah menghilang digantikan malam kelabu telah menjadi saksi aku yang melewati batas gengsiku.

Kamu berbalik badan. Matamu berubah sendu melihatku yang berantakan seperti ini.

Setelah nyaris lima menit kita berdiri berhadapan dan sama-sama diam, kamu memecah hening itu.

"Semua tidak akan semudah itu."

Aku mendongak, menatapmu dengan berani—namun penuh penyesalan.

Dengan gemetar, aku berkata, "jangan... pernah... pergi... Maka aku akan selalu di sini."

Bukan balasan yang kudapat, tetapi kamu kembali berbalik badan, dan membiarkanku berdiri di belakangmu menunggu jawaban—tanpa kepastian.

**

13/5/15
2:44 PM 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar