Jumat, 15 Desember 2017

Siklus

Rintik hujan yang jatuh dari langit lalu membasahi tanah perlahan mulai mengering, kemudian hilang. Mendung tak lagi ada, jalanan tak lagi basah. Siklus. Segalanya selalu berputar. Mendung berubah menjadi hujan, hujan jatuh membasahi tanah, tanah mengering setelah beberapa waktu. Tidak ada yang abadi di dunia ini.

Begitu pula dengan tangis dan tawa dalam hidup ini. Semua berputar. Berubah seiring berjalannya waktu. Seperti apa yang terjadi pada kita. Kita yang dulu dan sekarang. Saya yang dulu dan sekarang. Kamu yang dulu dan sekarang. Semua sudah tidak sama lagi.

Saya masih ingat jelas bagaimana kamu berusaha meyakinkan saya dulu. Tentang perasaan yang kamu rasakan. Perasaan yang awalnya tidak pernah ada dalam hati saya, tapi berhasil kamu tumbuhkan perlahan. Perasaan yang katamu sudah lama ada dalam dirimu, tapi baru berani kamu ungkapkan.

Saat itu, kamu tanya pada saya, "kamu sama sekali belum ada perasaan sama saya? Nggak suka sama saya?"

"Suka kok," jawab saya, pelan.

"Sayang?" Tanyamu lagi. Kamu tersenyum.

Saya menggeleng, ragu. Menyalahi apa yang sebenarnya saya rasakan. Senyummu pias.
"Belum. Saya nggak berani untuk sayang sama kamu. Saya takut nanti saat saya udah benar-benar sayang, terus kamu pergi dari saya. Saya tau kebiasaanmu dulu. Pacaran sebulan-dua bulan, lalu bosan, lantas pergi."

"Saya nggak gitu sebenarnya, semua tergantung gimana perempuan itu sendiri. Saya nggak mungkin melakukan itu sama kamu," ucapmu berusaha meyakinkan. "Oke, mungkin masih perlu waktu untuk kamu percaya. Tapi..., udah sayang apa belum?"

"Belum," berat sekali rasanya saya membohongi diri sendiri. "Anggap saja belum. Kalau saya bilang udah, nanti kamu berubah. Kalau saya bilang sayang, nanti kamu menghilang."

Mendadak senyum jahil itu terukir dalam wajahmu. Senyum yang paling menyebalkan tapi paling saya rindukan saat jauh dari kamu. "Kamu takut saya pergi," ujarmu. Sifat kepedean yang identik dalam dirimu. "Kamu sayang—"

"Duh!" Saya memutar bola mata dan memotong cepat ucapanmu, "saya belum sayang sama kamu," saya masih ngotot.

"Iya," kamu menarik napas dan tersenyum lembut. Satu kebiasaan yang membuat saya jatuh hati; kamu selalu sabar menghadapi saya. "Anggap saja kamu belum sayang sama saya, padahal udah, itu karena kamu takut. Kamu takut saya pergi. Kamu takut kehilangan saya, iya, kan?"

"Iya."

"Oke kalau begitu."

"Lho, kok oke?" Saya mulai bingung.

"Oke saya nggak akan pergi dari kamu."

"Janji?"

"Saya nggak bisa janji, tapi saya akan berusaha. Saya nyaman sama kamu. Saya ini laki-laki yang sensitif, tapi sama kamu, semua itu hilang. Saya jadi orang yang nggak egois lagi. Saya juga orangnya emosian, tapi menghadapi kamu, saya malah jadi sesabar ini. Udah, saya mau sama kamu aja. Titik."
Sesederhana itu, dan kamu berhasil mendapatkan hati ini.

Selang beberapa hari setelah percapakan tersebut, saya dan kamu lantas menjadi kita. Dua orang yang berusaha menyatukan diri dalam segala perbedaan yang ada. Yang mempercayakan hatinya pada satu sama lain. Dan, saat itu, doa saya untuk hari esok hanyalah; kamu menepati ucapanmu.

Hari berganti. Terik yang masih bisa kita rasakan di pertengahan bulan Oktober mulai terganti gerimis di awal November. Dalam waktu singkat, banyak hal kita lalui bersama. Banyak cerita yang telah kita bagi berdua. Kisahnya tidak semulus yang saya bayangkan, tapi saya bahagia melalui tahun terakhir masa putih abu-abu ini bersama kamu. Berbagai sifat burukmu mulai terlihat dan tanpa ragu saya menerimanya. Saya berusaha memahaminya tanpa peduli sesakit apa yang saya rasakan. Perubahan demi perubahan terjadi, namun saya tetap yakin pada apa yang saya anggap benar. 

Setiap pagi, sosokmu menjadi salah satu yang terlintas dalam benak saya saat baru terbangun dari tidur.Setiap malam, rindu saya tentang hadirmu selalu menggebu. Membuat saya sulit tidur, dan selalu ingin segera datang pagi, agar saya bisa bertemu kamu lagi. Setiap hari, namamu terselip di antara doa-doa yang saya panjatkan. Doa untuk orang-orang yang saya sayangi di dunia ini. Doa yang menjadi satu-satunya pegangan saya, saat kenyataan mulai tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan.

Selain hari dimana kamu menyatakan perasaanmu pada saya, ada satu hari lain yang selalu berhasil membuat saya membisu saat mengingatnya.
"Saya kangen." 
Pesan singkat yang memang benar singkat, saya kirimkan padamu malam itu. Lantas saya tertidur karena yakin kamu tidak akan membalasnya dengan cepat.
Pagi hari saya terbangun dan mendapat jawaban yang sama singkatnya.
"Saya nggak. Saya mulai bosan."
Hati saya mencelos membaca balasanmu. Sejak hari itu, jarak mulai kamu bentangkan. Mulai ada batas di antara kita. Tidak ada pesan singkat di pagi atau malam hari. Tidak ada kamu dalam hari saya. Kamu menghindar, seolah ingin menjauh. Seakan saya adalah sampah yang tidak ingin kamu lihat. Kamu melakukannya dengan mudah, melalui harimu tanpa saya. Tapi, saya tertatih menjalaninya. Melewati dua puluh empat jam dikali jumlah hari kamu menjauh. Semua terasa sakit. Sakit sekali. Saya tidak tahu kesalahan apa yang saya perbuat sampai sejauh ini jarak yang kamu buat.

Saya kira, bunga yang kamu tanam dalam hati saya akan kamu sirami terus menerus. Namun sepertinya dugaan saya sedikit melenceng. Belum apa-apa, kamu sudah dikalahkan rasa bosan yang menerpa. Saya kecewa. Tapi sepertinya besar rasa kecewa saya padamu masih kalah oleh besarnya rasa sayang saya pada sosok sekacau kamu. Saya memilih untuk bertahan padamu dan mempertahankan hubungan ini.

"Saya nggak tahu apa yang saya pikirkan. Tapi pelan-pelan perasaan itu mulai hilang. Saya bosan. Bosan sekali." Kata demi kata itu seperti belati yang sengaja kamu lempar dan tepat mengenai saya.

"Terus saya harus gimana?"

"Kamu diam saja. Biarin semua seperti ini," katamu. "Kalau saya mau akhiri semua ini, kamu mau?"

"Nggak," tegas saya. "Saya nggak mau segampang itu mengakhiri ini. Kalau kamu memang perlu waktu untuk sendiri, silahkan. Silahkan nikmati waktumu. Saya nggak akan ganggu kamu untuk beberapa waktu."

"Oke." Singkat dan jelas. Kamu lantas pergi.

Dan sampai hari ini, saya belum melihatmu lagi. Belum mengetahui kabarmu sedikitpun.

Kamu menikmati sekali waktu sendirimu. Kamu menjalani setiap harimu dengan begitu mudahnya tanpa saya. Seolah jarak yang ada di antara kita tak sedikitpun membuatmu merasa kehilangan. Seakan segala yang berubah ini bukanlah hal yang buruk.

Tapi tidak dengan saya. Topeng yang saya pakai harus benar-benar terpasang rapi. Saya harus tetap tertawa dan tersenyum, meski sesak di dada kerap kali menyerang saat saya tiba-tiba teringat kamu. Jarak ini menyiksa saya setiap waktu. Pagi tak lagi menjadi yang saya harapkan. Malam tak lagi indah, semua hanya hitam dan kelam.

Setiap hari saya hanya bisa menulis seluruh yang saya rasakan tentangmu dalam buku bersampul coklat yang sudah berisikan catatan tentangmu sejak awal saya menyukaimu.
Sosokmu yang berantakan tapi amat saya rindukan. Kelakuanmu yang kadang keterlaluan tapi tidak pernah saya permasalahkan. Saya menyayangimu penuh seluruh. Saya menyayangimu atas semua kekacauan dirimu.

Seorang teman pernah bertanya pada saya. "Kamu tahu banyak hal buruk yang pernah dia lakukan," katanya. "Lalu apa yang buat kamu bertahan? Bahkan dia udah seperti nggak menginginkan kamu lagi."

Saya tersenyum kecil. Memang, sampai saat ini, saya sendiripun tidak paham kenapa saya nekat membuka hati untuk sosok yang segala catatan hitamnya sudah saya ketahui. Saya tidak bisa menjelaskan kepada siapapun tentang yang saya rasakan. Saya melihatmu dari sudut yang tidak mereka ketahui. Kamu itu istimewa, tidak bisa dilihat dari sudut yang sama dengan orang lainnya. Saya sudah melihat keistimewaanmu—dan saya tidak mau orang lain melihatnya.

Perlahan, saya mengatakan, "kalau perihal  sayang karena rasa nyaman, itu mudah didapatkan. Kita hanya perlu bertemu orang baik, dibuat nyaman, lalu tumbuhlah rasa sayang itu."

"Tapi nyaman nggak selamanya bertahan. Yang benar kita perlukan adalah orang yang menyayangi kita dan mau menerima segala hal buruk dalam diri, mau memahami setiap kekurangan yang dimiliki," saya melanjutkan. "Saya mencintai dia dengan segala keangkuhannya. Kacaunya dia bikin saya selalu ingin disampingnya, menemaninya, bersamanya. Saya mau bertahan sama dia saja. Bersama dia, semua terasa cukup. Saya perlu dia."

Teman saya menggeleng pelan. Heran. "Terus sampai kapan kamu akan bertahan?"

Setelah satu hembusan napas berat, saya menjawab, "sampai saya nggak mampu bertahan lagi, kemudian pergi."


•••
-C-
18/11/17
Saya rindu kamu. Sangat rindu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar