Sabtu, 01 Maret 2014

Tentang Mimpi dan Cinta Pertamaku


“Kenapa kamu disini? Ini kan ruang kelasku.” Kupandang laki-laki di hadapanku ini dengan perasaan campur-aduk. Aku senang, aku bahagia, aku terharu, ingin menangis, ingin memeluk. Tapi aku teringat sesuatu. “Aku harus pulang sekarang,” kataku dengan air mata yang menggenang. Dadaku sesak, hatiku sakit. Rasanya tak rela untuk meninggalkannya.

Dia tersenyum. Senyum manis yang tak terkalahkan oleh siapa pun. Aku terenyah. Kurasakan kehangatan tatapan mata dan senyumnya menjalar keseluruh tubuhku. Aku merasakan apa yang tak bisa kurasakan selama dua tahun terakhir.

“Iya, hati-hati, ya,” jawabnya. Senyum itu terus terukir di wajahnya.

            Aku mengangguk seraya melambaikan tangan. Aku melangkah, menjauh, meninggalkannya. Tapi tiba-tiba hatiku bergejolak ingin kembali. Namun, naas. Kakiku terus melangkah menjauh tak terkendali. Kupandangi dia yang masih tersenyum sembari melambaikan tangan kearahku. Senyumnya. Tatapannya. Aku tak tahan. Aku ingin menghampiri dan memeluknya, meski sesaat. Tanpa daya, aku berusaha melawan walau kutahu itu akan sia-sia. Kakiku terus melangkah. Tubuhnya terlihat semakin mengecil. Jarak kami semakin jauh. Air mataku mulai berjatuhan membasahi pipi. 

            Jauh...                                           

            Semakin jauh...

            Sangat jauh...


“Argghh!” Mataku terbuka cepat. Nafasku terengah-engah. Pipiku basah oleh air mata dan keringat yang bercucuran. “Cuma mimpi, sialan!”

Aku mengerjapkan beberapa kali mataku. Jam dinding menunjukkan pukul 3 dini hari. Jadi, semua itu hanya mimpi? Aku hanya bertemu dengan dia dalam mimpi? Tanpa dikomando, air mataku kembali jatuh. Aku menenggelamkan wajahku di bawah bantal. Semua terasa nyata. Mimpi tadi terus menghantui pikiranku. Wajahmu. Senyummu. Kilauan bola matamu. Semua terasa seperti aku sedang benar-benar memandangmu secara nyata.

Otakku seperti bioskop yang secara tiba-tiba memutar semua film lama tentang kita. Mulai dari kita yang sedang bersama di ruang kelas penuh mainan dan anak-anak lain yang berlarian. Berlanjut ketika kita duduk di hadapan papan tulis putih dengan tulisan ‘Ini budi’. Semua tak bisa berhenti. Film itu terus dan terus berlanjut, hingga nyaris mencapai episode terakhirnya. Saat itu kita sedang duduk, berkumpul bersama dengan semua teman-teman dan beberapa guru. Guru dengan wajah paling tegas berdiri di depan kita, memegang mic dan sebuah kertas. Guru tersebut membenahi letak kaca matanya. Lalu berkata kepada kita semua, “Semua LULUS.” Kudengar semua berteriak. Tertawa. Saling memeluk. Bahkan menangis. Tak terbesit apa pun di benakku saat itu. Tak terpikir bahwa akan ada kabar baik yang menjelma menjadi kabar buruk. Yang aku tahu hanya, kita semua bahagia. Aku bahagia, kamu bahagia, teman-teman bahagia, dan guru-guru bahagia.

Film itu semakin cepat berlanjut. Saat itu aku, kamu, dan teman-teman kita; menanti sebuah pengumuman lain. Dimanakah kita akan melanjutkan perjalanan hidup selanjutnya? Beberapa menit berselang, kulihat namaku terpajang di sebuah kertas milik sebuah sekolah menengah yang berisi kumpulan nama-nama siswa yang diterima di sekolah tersebut. Sungguh, aku senang. Benar-benar senang. Tapi kesenangan itu tak lama. Semua sirna ketika kusadari tiada namamu disana. Tuhan, apa benar-benar aku harus berpisah dengannya? Tidakkah ada jalan lain? Tuhan, kumohon...

Aku tersentak. Tersadar dari lamunanku. Kembali wajahmu itu terbayang dalam otakku. Kamu. Iya, kamu. Cinta pertamaku.

Betapa aku iri dengan mereka yang masih bisa bertemu dengan orang yang selalu hadir dalam mimpi mereka. Tak terbendung jumlah cacian dalam hatiku ketika melihat mereka yang bisa ada dalam harimu. Kenapa mereka? Kenapa bukan aku?

Hatiku sakit. Hatiku menangis. Kenapa harus kita yang berpisah? Semua terasa terlalu cepat berlalu. Delapan tahun saling mengenal terasa percuma ketika kita harus berpisah hanya karena hal kecil ini.

Aku tahu, ini semua salahku. Aku tahu! Aku yang memilih meninggalkanmu. Aku yang mengambil keputusan bahwa kita memang harus berpisah.

Andai bisa kuputar waktu. Inginku bisa bertemu denganmu lagi. Bertemu dalam wujud kita yang sekarang. Kamu yang telah tumbuh menjadi seorang remaja menarik dan tampan. Tapi bukan, bukan karena itu aku ingin kaukembali ke hidupku. Tak ada banyak alasan mengapa aku ingin kita kembali bersama. Hanya karena aku masih menyayangimu. Hanya karena kamu satu-satunya orang yang mampu membuatku terbangun disaat yang lain terlelap. Hanya karena kamu-lah yang bisa membuatku menangis ketika kauhadir dalam mimpiku. Iya, kamu. Cinta pertamaku.

Aku merindukanmu. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Kuharap, kita ‘kan bisa bertemu lagi. Nanti. Ketika kedewasaan telah menguasai kita. Ketika kita telah bisa menghapus rasa kecewa masing-masing akibat perpisahan kita dulu.
Kamu, cinta pertamaku, yang selalu hadir dalam mimpi indah maupun burukku. Aku disini, selalu mengingatmu. Selalu menyimpan rasa untukmu.

-C-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar