Selasa, 03 Juni 2014

Lelaki Dua Puluh Dua


 Cerita I (dengan dialog):

Laki-laki dengan jaket “22” di punggungnya itu memandang sebuah alat yang menempel di tembok. Menunggu wajahnya terscan, dan sebuah suara terimakasih terdengar. Kemudian ia melangkah menuju kelas yang terletak di lantai dua. Berjalan lurus, tanpa sekalipun menyapa orang-orang yang berlalu-lalang. Sifat cueknya ternyata masih sama sejak dulu. 

“Woi, bengong aja, buruan gih absen, banyak yang ngantri!”

Aku tersadar dari lamunan singkatku pagi ini. “Eh, iya, maaf-maaf.” Segera kudekatkan wajah dengan scanner di depanku. Setelah terdengar terimakasih dari alat itu, aku langsung setengah berlari meninggalkan tempat tersebut. 

“Tisha!”

“Eh, Faya,” katanya seraya memasukkan telepon genggam kedalam saku. “Oh ya, lo gimana sama Wipra?” tanyanya, tiba-tiba. Aneh.

“Ada apa memangnya?” Aku mengernyit. “Kami udah nggak sedekat dulu lagi. Dia cuek banget sekarang. Gue capek menghubungi dia duluan!”

“Bagus deh,” gumamnya. 

“Hah?”

Tisha melangkahkan kakinya menapaki tangga mendahuluiku. Tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya lagi. Setelah memasuki kelas, juga meletakkan tas, aku dan Tisha pergi ke salah satu sudut teras kelas. Sedangkan Wipra, duduk santai di sudut lainnya. 

“Mungkin dia punya gebetan lain kali,” Tisha mulai berbicara lagi. “Ganti gebetan aja, Fay. Banyak kok yang keren disini. Lo nggak bosen apa dua tahun ngegebet dia?” Nadanya terdengar sinis. 

“Tis?” Aku menatapnya, heran. “Emang kenapa? Ada yang salah? Elo nggak biasanya mempermasalahkan ini.”

“Semalem gue putus sama Putra.”

“Lalu?”

“Gue curhat semalaman sama Wipra. Orangnya asyik juga ternyata. Pantas aja lo suka,” dia terkekeh. “Setahun gue sahabatan sama dia, baru kali ini kita telponan sampai malam. Biasanya paling chat doang.”

“Eh, lo nggak cemburu, kan? Lo belum pacaran kan sama dia? Jadi, gue nggak salah, kan?” lanjut Tisha.

Aku menggeleng pelan. Memaksa tersenyum. “Lo nggak salah.”

“Ya udah, gue mau ke Wipra dulu, mau lanjutin cerita semalam. Bye!”

Aku masih terkesiap. Mataku mengerjap, memandang lelaki dua puluh duaku bersama Tisha, sahabatku.

**
Cerita II (narasi saja): 

Laki-laki dengan jaket “22” di punggungnya itu memandang sebuah alat yang menempel di tembok. Menunggu wajahnya terscan, hingga sebuah suara terimakasih terdengar. Kemudian ia melangkah menuju kelas yang terletak di lantai dua. Berjalan lurus, tanpa sekalipun menyapa orang-orang yang berlalu-lalang. Sifat cueknya ternyata masih sama sejak dulu. 

Seseorang menegurku hingga aku tersadar dari lamunan singkatku pagi ini. Setelah meminta maaf pada antrian panjang yang diakibatkan olehku, aku segera berlari meninggalkan tempat tersebut.

Perjalananku menuju kelas tidak sendiri. Ada Tisha yang juga baru datang. Aku menyapanya. Gadis itu memasukkan telepon genggamnya ke saku ketika membalas sapaanku. Dan tiba-tiba, tanpa ada basa-basi di antara kami, ia bertanya tentang Wipra. Laki-laki yang kusukai dua tahun terakhir ini. 
Aku menyadari sesuatu; ada yang tidak biasa pada nada suaranya. Sinis.  

Tisha melangkahkan kakinya menapaki tangga mendahuluiku. Tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya lagi. Setelah memasuki kelas, juga meletakkan tas, aku dan Tisha pergi ke salah satu sudut teras kelas. Sedangkan Wipra, duduk santai di sudut lainnya.

Sahabatku ini mulai berbicara lagi. Atas perkataanku tadi, Tisha berasumsi kalau Wipra sudah menyukai orang lain. Awalnya aku terdiam dengan ucapannya yang menurutku sangat aneh, juga tumben. Namun, nada sinis juga permintaannya agar aku menyukai orang lain―bukan Wipra―membuatku benar-benar merasa ada yang aneh. Tidak biasanya Tisha seperti ini; mempermasalahkan perasaanku terhadap Wipra.

Hingga akhirnya sebuah perkataan terlontar dari mulut Tisha. Tentang hubungannya yang telah berakhir dengan Putra, tentang Wipra yang asyikjuga kedekatan mereka sekarang. 

Seperti ada yang menghunjam, hatiku sakit. 

Aku memaksa tersenyum ketika Tisha ‘menyadarkanku’ kalau aku bukan siapa-siapa lelaki bertubuh jangkung itu. Memang, Tisha benar. Aku bukan siapa-siapa Wipra. Bukan masalah jika Tisha kini dekat dengannya.

Tisha kemudian meninggalkanku untuk melanjutkan ceritanya yang tertunda dengan Wipra semalam.

Ini bukan mimpi. Kukerjapkan mataku, memandang lelaki dua puluh duaku bersama Tisha, sahabatku.
**

#narasiVSdialog

-C-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar