"Happy
anniversarry, Drey," kata Alvin sambil mengecup kening gadis di
hadapannya.
Audrey
menunduk selama beberapa saat. Kemudian dengan helaan napas berat, ia menatap
Alvin. Senyum paksa terukir jelas di wajahnya. “Thanks, ya, Vin.”
Kening
Alvin berkerut. “Untuk?”
“Ng―untuk
semua yang udah lo kasih ke gue selama ini.”
“Nggak
perlu bilang makasih kali, Drey... Gue tulus kok,” jawab Alvin.
Maafin gue, Vin...
**
Hujan
masih membasahi tanah Jogja sejak seperempat jam yang lalu. Audrey berdiri
sendiri di bawah halte yang atapnya mulai bocor. Sesekali Audrey berpindah
tempat untuk menghindari tetes air. Tubuhnya sudah menggigil, ia tak ingin
tambah kedinginan lagi.
Drrtt... drttt...
Audrey
melirik handphone-nya. Sebuah
panggilan dari Alvin. Ini merupakan panggilan ketujuhnya selama dua jam
terakhir.
“Ya?”
“Drey, lo masih di halte depan kampus? Gue
jemput aja, ya? Hujannya nanti tambah deras, lho...”
Audrey
memandang kanan-kiri. Tidak ada tanda-tanda kendaraan umum yang datang. Tapi,
dia tidak mungkin dijemput Alvin... Karena hari ini adalah jadwal Audrey untuk
pergi ke tempat itu.
“Drey? Halo, Audrey?”
“Eh,
Vin, ng-nggak usah... Ini busnya udah ada kok, gue tutup telponnya, ya. Nanti
sampai rumah gue telepon lagi, bye.”
Klik!
Tombol merah tersentuh oleh jempol Audrey. Panggilan Alvin terputus begitu
saja.
Entah
kenapa, mata Audrey terasa panas tiba-tiba. Ada pedih dalam hatinya. Sesak.
Ingin berteriak. Audrey sudah tidak sanggup lagi.
Sebuah
bus kota berhenti tepat didepan halte tempat Audrey berdiri. Gadis berambut
hitam tersebut segera masuk kedalam bus. Berhubung tidak ada penumpang lain,
bus segera berangkat setelah sepuluh menit berhenti.
**
“Nan,
aku nggak bisa kayak gini terus... Aku capek menyimpan ini semua sendirian...”
Seorang gadis bersimpuh didekat makam sambil menggenggam sebuket bunga tulip
ungu. Sesekali ia menghapus air matanya yang semakin deras. Gerimis membantu
menyamarkan air mata itu. Audrey bersyukur karena hujan tak sepenuhnya
berhenti.
“Nanta...
Kamu dengar aku, kan? Aku capek bersandiwara, Nan... Ini udah dua tahun. Dua
tahun sejak kepergian kamu. Dua tahun sejak aku menjalani hubungan penuh
kebohongan ini, Nan,” ucap Audrey sambil terisak. Bunga tulip itu kemudian
diletakkan di dekat nisan bertuliskan nama Nanta Radika. “Bagaimana caranya aku
mengakhiri ini semua, Nan?”
Bahu
Audrey bergetar. Dia menunduk, menikmati tangisannya, menyesapi setiap pedih
yang terasa dalam hati. “Alvin terlalu baik. Dia seharusnya pantas mendapat
yang lebih dari aku. Dia nggak pantas mendapat pasangan seorang gadis yang
masih menaruh hati pada adiknya sendiri.”
“Nan,
apa yang harus aku lakukan? Ini sudah terlalu jauh, aku nggak ingin menyakiti
Alvin dengan cara mengakhiri semua ini dengan tiba-tiba... Tapi, aku nggak
mungkin menjalani hubungan tanpa hati ini terus-menerus. Kakakmu itu pantas
bahagia atas cinta dari gadis yang benar-benar mencintai dia. Bukan dengan aku
yang...” Audrey membungkam mulutnya, menahan tangis agar tak terdengar oleh
peziarah lain. Badannya kembali terguncang pelan. “...dengan aku yang pura-pura
mencintai dia. Dengan aku yang menerimanya karena suruhanmu, Nan... Ini masalah
hati. Nggak seharusnya aku melakukan ini... Alvin nggak seharusnya menerima ini
semua.”
Dari
balik pohon besar yang letaknya tidak jauh dari makam itu, berdiri seorang
lelaki berkacamata. Memandang nanar Audrey yang menangis di makam adiknya. Tangannya
mengepal. Berusaha menahan perih atas ribuan jarum yang menusuk hatinya.
**
keren,,,
BalasHapusObat Herbal Kanker Kandung Kemih