Bulan bersinar lebih
terang dibanding biasanya. Gue menengok keluar jendela dan memperhatikan sinar
bulan itu. Indah sekali. Bulan yang bersinar begitu terangnya, dihiasi oleh
bintang-bintang disekelilingnya. Gue sering berkhayal, bisa menjadi seperti
bulan purnama yang bersinar terang dan ditemani oleh bintang-bintang cantik.
Secantik gadis yang selalu membuat gue tersenyum akhir-akhir ini. Namanya
Purnama Putri Veronika, biasa dipanggil Una. Una itu teman baru gue, baru
sekitar tiga bulan kita saling kenal. Tapi, entah kenapa gue sering ngerasa
aneh kalau dekat dia. Kalau lagi dekat Una, gue suka grogi, deg-degan, dan
salah tingkah. Mungkinkah ini yang namanya cinta? Halah. Lupakan. Lupakan
segala sesuatu yang berbau ‘cinta’. Cinta itu nyakitin, menurut gue. Menurut
gue, ya.
Malam ini gue
menghabiskan waktu dengan duduk santai diteras kamar sambil bengong. Dan kalau
lagi bengong gini, gue pasti keingat… Ika. Ah, sialan! Ika itu mantan gue,
alias cinta pertama gue. Dia orang pertama yang memperkenalkan gue sama yang
namanya cinta. Dan dia juga yang memperkenalkan gue sama yang namanya patah
hati. Ika mutusin gue gara-gara hal sepele, karena gue gak pandai main musik.
Gila kan?! Ehm, udahlah. Gue udah gak mau peduliin tentang Ika lagi, kan udah
ada Una. Eh, kok nyambung ke Una? Ah, tau ah. Disaat gue ngejauhin yang namanya
cinta, kenapa gue harus jatuh cinta, sih. Gue gak mau jatuh cinta lagi, takut.
Takut sakit hati lagi.
Jam nunjukkin pukul 11
malam, gue memutuskan buat tidur.
Sekitar pukul 7 pagi
gue udah sampai disekolah. Beberapa orang udah ada dikelas, salah satunya
Purnama alias Una. Duh, cewek satu ini! Udah cantik, senyumnya manis, ditambah
rajin pula. Cewek idaman. Una termasuk cewek rajin, karena rata-rata cewek
dikelas gue itu suka datang telat.
“Nan, boleh pinjem buku
sejarah gak? Buku gue ketinggalan nih” Una menghampiri gue tiba-tiba, jantung
gue berdetak kencang.
“Boleh…” Gue berusaha
untuk nggak terlihat konyol didepan Una. Setelah nerima buku dari tangan gue, Una
berjalan menjauh dari bangku gue. Dia sempat menyunggingkan senyum kecil
sebelum pergi tadi. Senyumyaaaaa! Gue paling gak tahan sama senyum cewek yang
lagi gue taksir. Lho, gue naksir Una? Ah, nggak nggak. Gue kan lagi gak mau
jatuh cinta. Menghindari yang namanya cinta itu emang sulit, ya. Huft!
Pulang sekolah gue gak
langsung pulang kerumah. Gue nyempatin diri untuk main basket sama temen-temen.
Dari kelas gue menuju lapangan basket sekolah hanya perlu waktu tiga menit.
Disana temen-temen gue udah berkumpul dan siap-siap buat main. Tapi kok… ada
Una. Ada Una di lapangan basket, tepatnya duduk dipinggir lapangan basket. Gue
memberanikan diri untuk ngobrol sedikit sama Una.
“Sendirian, Na?” Gue
berusaha berbasa-basi.
“Eh, Nanta. Iya, nih,
gue sendiri”
“Ooh…”
GARING!
Gue mengacak-acak
rambut, berusaha menemukan topik pembicaraan yang tepat.
“Lo kenapa? Haha…” Una
tertawa kecil memperhatikan gue.
“Ngg.. nggak kenapa
kok, Na. Eh, pacar lo mana?” BEGO! Kenapa gue nanyain pacar? Ah, Nanta begooo!
Una tertawa garing,
“Gue gak punya pacar…”
Gue merasa seperti
mendapat hujan ditengah gurun mendengar jawaban Una. Eh, tapi kan gue lagi
ngehindar dari yang namanya jatuh cinta?!
“Pacar gue udah pergi
sama cewek lain yang lebih cantik dari gue” lanjutnya.
Mata Una menatap lurus
kedepan, seperti menerawang masa lalu, “Lo sendiri cantik kok, Na. Pacar lo
bego tuh ninggalin cewek secantik lo.” Gue berusaha menghibur Una.
Una tersenyum kecil.
“Gue sama kayak lo, Na.
Pacar gue pergi ninggalin gue. Gue takut jatuh cinta lagi. Lo gak trauma sama
yang namanya cinta?” Entah darimana asalnya, kata-kata ini tiba-tiba keluar
dari mulut gue.
“Nggak. Kenapa harus
trauma? Cinta itu emang terkadang nyakitin. Tapi, sesakit-sakitnya dikhianati
karena cinta, gue gak pernah menghindari yang namanya cinta. Kita hidup karena
cinta, Nan…”
“Sakit hati dikhianati
sama orang yang kita cinta? Yah, namanya juga hidup. Gak mungkin dong hidup
kita enak terus, bahagia terus. Pasti terkadang kita harus ngerasain juga yang
namanya sakit…”
“Sakit hati ditinggalin
pacar? Mungkin itu yang terbaik, mungkin dia bukan jodoh kita, dan mungkin itu
memang takdir Tuhan. Mungkin, ya…”
Gue terdiam sejenak
mendengar kata-kata Una. Kenapa gue harus trauma sama cinta? Trauma sama sakit
hati? Menghindari jatuh cinta karena takut sakit hati? Gue emang bego. Dengan
menghindari jatuh cinta ke orang lain, sama aja gue nyiksa diri sendiri. Nyiksa
hati gue sendiri.
“Lo gak jadi main
basket, Nan?” Una menyadarkan lamunan gue.
“Oiya!” Gue menepuk
jidat sendiri dan buru-buru berlari ketengah lapangan. Baru kali ini gue gak
fokus main basket. Gue gagal terus masukin bola ke ring. Di otak gue terus
kebayang kata-kata Una tadi.
Selesai bermain, gue
menghampiri Una yang masih duduk dipinggir lapangan. Dia tersenyum manis,
sangat manis! Gue gak bisa memungkiri kalau gue emang lagi jatuh cinta sama
Una.
“Na, besok malam lo ada
acara gak?”
Una menggeleng sambil
menyerahkan sebotol minuman ke gue, “Nih…”
Gue meneguk habis
minuman itu. Selama dua menit gue dan Una sama-sama diam.
“Besok jam 7 malam gue
jemput lo, ya. Kita jalan bareng…” Ciatttt! Ini pertama kalinya gue ngajakin
cewek jalan bareng setelah gue putus dari Ika. Oke, sekarang gue gak takut
jatuh cinta.
“Ehm, oke. Eh, tapi lo
udah gak menghindari jatuh cinta lagi kan?” Una mengerlingkan sebelah matanya
sambil tersenyum kecil, senyum yang sedikit meledek.
“Nggak dong, kan jatuh
cinta nya sama cewek yang cantik banget…”
“Gombal, hahahaha…”
Gue dan Una tertawa
lepas bersama. Sore itu sore terindah dihidup gue setelah putus dari Ika. Gue
kembali merasakan indahnya cinta, gue kembali merasakan yang namanya jatuh
cinta. Jatuh cinta pada seorang Purnama. Gue berharap Una lebih baik dari Ika.
Dan seperti namanya, gue berharap Una selalu menerangi gue dengan sinar
indahnya. Sekarang gue juga udah gak menghindar dari yang namanya cinta,
sekalipun terkadang cinta itu nyakitin. Kita hidup karena cinta, bukan?
-C-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar