Jumat, 15 Desember 2017

Siklus

Rintik hujan yang jatuh dari langit lalu membasahi tanah perlahan mulai mengering, kemudian hilang. Mendung tak lagi ada, jalanan tak lagi basah. Siklus. Segalanya selalu berputar. Mendung berubah menjadi hujan, hujan jatuh membasahi tanah, tanah mengering setelah beberapa waktu. Tidak ada yang abadi di dunia ini.

Begitu pula dengan tangis dan tawa dalam hidup ini. Semua berputar. Berubah seiring berjalannya waktu. Seperti apa yang terjadi pada kita. Kita yang dulu dan sekarang. Saya yang dulu dan sekarang. Kamu yang dulu dan sekarang. Semua sudah tidak sama lagi.

Saya masih ingat jelas bagaimana kamu berusaha meyakinkan saya dulu. Tentang perasaan yang kamu rasakan. Perasaan yang awalnya tidak pernah ada dalam hati saya, tapi berhasil kamu tumbuhkan perlahan. Perasaan yang katamu sudah lama ada dalam dirimu, tapi baru berani kamu ungkapkan.

Saat itu, kamu tanya pada saya, "kamu sama sekali belum ada perasaan sama saya? Nggak suka sama saya?"

"Suka kok," jawab saya, pelan.

"Sayang?" Tanyamu lagi. Kamu tersenyum.

Saya menggeleng, ragu. Menyalahi apa yang sebenarnya saya rasakan. Senyummu pias.
"Belum. Saya nggak berani untuk sayang sama kamu. Saya takut nanti saat saya udah benar-benar sayang, terus kamu pergi dari saya. Saya tau kebiasaanmu dulu. Pacaran sebulan-dua bulan, lalu bosan, lantas pergi."

"Saya nggak gitu sebenarnya, semua tergantung gimana perempuan itu sendiri. Saya nggak mungkin melakukan itu sama kamu," ucapmu berusaha meyakinkan. "Oke, mungkin masih perlu waktu untuk kamu percaya. Tapi..., udah sayang apa belum?"

"Belum," berat sekali rasanya saya membohongi diri sendiri. "Anggap saja belum. Kalau saya bilang udah, nanti kamu berubah. Kalau saya bilang sayang, nanti kamu menghilang."

Mendadak senyum jahil itu terukir dalam wajahmu. Senyum yang paling menyebalkan tapi paling saya rindukan saat jauh dari kamu. "Kamu takut saya pergi," ujarmu. Sifat kepedean yang identik dalam dirimu. "Kamu sayang—"

"Duh!" Saya memutar bola mata dan memotong cepat ucapanmu, "saya belum sayang sama kamu," saya masih ngotot.

"Iya," kamu menarik napas dan tersenyum lembut. Satu kebiasaan yang membuat saya jatuh hati; kamu selalu sabar menghadapi saya. "Anggap saja kamu belum sayang sama saya, padahal udah, itu karena kamu takut. Kamu takut saya pergi. Kamu takut kehilangan saya, iya, kan?"

"Iya."

"Oke kalau begitu."

"Lho, kok oke?" Saya mulai bingung.

"Oke saya nggak akan pergi dari kamu."

"Janji?"

"Saya nggak bisa janji, tapi saya akan berusaha. Saya nyaman sama kamu. Saya ini laki-laki yang sensitif, tapi sama kamu, semua itu hilang. Saya jadi orang yang nggak egois lagi. Saya juga orangnya emosian, tapi menghadapi kamu, saya malah jadi sesabar ini. Udah, saya mau sama kamu aja. Titik."
Sesederhana itu, dan kamu berhasil mendapatkan hati ini.

Selang beberapa hari setelah percapakan tersebut, saya dan kamu lantas menjadi kita. Dua orang yang berusaha menyatukan diri dalam segala perbedaan yang ada. Yang mempercayakan hatinya pada satu sama lain. Dan, saat itu, doa saya untuk hari esok hanyalah; kamu menepati ucapanmu.

Hari berganti. Terik yang masih bisa kita rasakan di pertengahan bulan Oktober mulai terganti gerimis di awal November. Dalam waktu singkat, banyak hal kita lalui bersama. Banyak cerita yang telah kita bagi berdua. Kisahnya tidak semulus yang saya bayangkan, tapi saya bahagia melalui tahun terakhir masa putih abu-abu ini bersama kamu. Berbagai sifat burukmu mulai terlihat dan tanpa ragu saya menerimanya. Saya berusaha memahaminya tanpa peduli sesakit apa yang saya rasakan. Perubahan demi perubahan terjadi, namun saya tetap yakin pada apa yang saya anggap benar. 

Setiap pagi, sosokmu menjadi salah satu yang terlintas dalam benak saya saat baru terbangun dari tidur.Setiap malam, rindu saya tentang hadirmu selalu menggebu. Membuat saya sulit tidur, dan selalu ingin segera datang pagi, agar saya bisa bertemu kamu lagi. Setiap hari, namamu terselip di antara doa-doa yang saya panjatkan. Doa untuk orang-orang yang saya sayangi di dunia ini. Doa yang menjadi satu-satunya pegangan saya, saat kenyataan mulai tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan.

Selain hari dimana kamu menyatakan perasaanmu pada saya, ada satu hari lain yang selalu berhasil membuat saya membisu saat mengingatnya.
"Saya kangen." 
Pesan singkat yang memang benar singkat, saya kirimkan padamu malam itu. Lantas saya tertidur karena yakin kamu tidak akan membalasnya dengan cepat.
Pagi hari saya terbangun dan mendapat jawaban yang sama singkatnya.
"Saya nggak. Saya mulai bosan."
Hati saya mencelos membaca balasanmu. Sejak hari itu, jarak mulai kamu bentangkan. Mulai ada batas di antara kita. Tidak ada pesan singkat di pagi atau malam hari. Tidak ada kamu dalam hari saya. Kamu menghindar, seolah ingin menjauh. Seakan saya adalah sampah yang tidak ingin kamu lihat. Kamu melakukannya dengan mudah, melalui harimu tanpa saya. Tapi, saya tertatih menjalaninya. Melewati dua puluh empat jam dikali jumlah hari kamu menjauh. Semua terasa sakit. Sakit sekali. Saya tidak tahu kesalahan apa yang saya perbuat sampai sejauh ini jarak yang kamu buat.

Saya kira, bunga yang kamu tanam dalam hati saya akan kamu sirami terus menerus. Namun sepertinya dugaan saya sedikit melenceng. Belum apa-apa, kamu sudah dikalahkan rasa bosan yang menerpa. Saya kecewa. Tapi sepertinya besar rasa kecewa saya padamu masih kalah oleh besarnya rasa sayang saya pada sosok sekacau kamu. Saya memilih untuk bertahan padamu dan mempertahankan hubungan ini.

"Saya nggak tahu apa yang saya pikirkan. Tapi pelan-pelan perasaan itu mulai hilang. Saya bosan. Bosan sekali." Kata demi kata itu seperti belati yang sengaja kamu lempar dan tepat mengenai saya.

"Terus saya harus gimana?"

"Kamu diam saja. Biarin semua seperti ini," katamu. "Kalau saya mau akhiri semua ini, kamu mau?"

"Nggak," tegas saya. "Saya nggak mau segampang itu mengakhiri ini. Kalau kamu memang perlu waktu untuk sendiri, silahkan. Silahkan nikmati waktumu. Saya nggak akan ganggu kamu untuk beberapa waktu."

"Oke." Singkat dan jelas. Kamu lantas pergi.

Dan sampai hari ini, saya belum melihatmu lagi. Belum mengetahui kabarmu sedikitpun.

Kamu menikmati sekali waktu sendirimu. Kamu menjalani setiap harimu dengan begitu mudahnya tanpa saya. Seolah jarak yang ada di antara kita tak sedikitpun membuatmu merasa kehilangan. Seakan segala yang berubah ini bukanlah hal yang buruk.

Tapi tidak dengan saya. Topeng yang saya pakai harus benar-benar terpasang rapi. Saya harus tetap tertawa dan tersenyum, meski sesak di dada kerap kali menyerang saat saya tiba-tiba teringat kamu. Jarak ini menyiksa saya setiap waktu. Pagi tak lagi menjadi yang saya harapkan. Malam tak lagi indah, semua hanya hitam dan kelam.

Setiap hari saya hanya bisa menulis seluruh yang saya rasakan tentangmu dalam buku bersampul coklat yang sudah berisikan catatan tentangmu sejak awal saya menyukaimu.
Sosokmu yang berantakan tapi amat saya rindukan. Kelakuanmu yang kadang keterlaluan tapi tidak pernah saya permasalahkan. Saya menyayangimu penuh seluruh. Saya menyayangimu atas semua kekacauan dirimu.

Seorang teman pernah bertanya pada saya. "Kamu tahu banyak hal buruk yang pernah dia lakukan," katanya. "Lalu apa yang buat kamu bertahan? Bahkan dia udah seperti nggak menginginkan kamu lagi."

Saya tersenyum kecil. Memang, sampai saat ini, saya sendiripun tidak paham kenapa saya nekat membuka hati untuk sosok yang segala catatan hitamnya sudah saya ketahui. Saya tidak bisa menjelaskan kepada siapapun tentang yang saya rasakan. Saya melihatmu dari sudut yang tidak mereka ketahui. Kamu itu istimewa, tidak bisa dilihat dari sudut yang sama dengan orang lainnya. Saya sudah melihat keistimewaanmu—dan saya tidak mau orang lain melihatnya.

Perlahan, saya mengatakan, "kalau perihal  sayang karena rasa nyaman, itu mudah didapatkan. Kita hanya perlu bertemu orang baik, dibuat nyaman, lalu tumbuhlah rasa sayang itu."

"Tapi nyaman nggak selamanya bertahan. Yang benar kita perlukan adalah orang yang menyayangi kita dan mau menerima segala hal buruk dalam diri, mau memahami setiap kekurangan yang dimiliki," saya melanjutkan. "Saya mencintai dia dengan segala keangkuhannya. Kacaunya dia bikin saya selalu ingin disampingnya, menemaninya, bersamanya. Saya mau bertahan sama dia saja. Bersama dia, semua terasa cukup. Saya perlu dia."

Teman saya menggeleng pelan. Heran. "Terus sampai kapan kamu akan bertahan?"

Setelah satu hembusan napas berat, saya menjawab, "sampai saya nggak mampu bertahan lagi, kemudian pergi."


•••
-C-
18/11/17
Saya rindu kamu. Sangat rindu. 

Senin, 14 September 2015

14/9

Membuka halaman facebook bagiku bagai mengintip lembar masa lalu. Berawal dari keisengan, mencari kontak teman lama dan kabar guru Sekolah Dasar... pada akhirnya jariku membawa beranda facebook menuju bagian pesan. Membaca-baca pesan bersama teman lama membuatku terus scroll down hingga tiba pada pada pesanku bersama... nya

Tuhan, kapan terakhir kali kami saling menyapa?

Semakin aku menggeser pesan tersebut, semakin rindu itu terasa. Facebook menyimpan rapat kisah kami selama empat tahun. Senang dan sakit kurasakan bersamaan melihat polos dan tulusnya kata demi kata yang kita ucapkan. Pertengkaran maupun keseruan. Tawa dan luka. Canda dan airmata. Rindu dan kenangan. 

Aku bahkan tidak sanggup lagi menuliskan semua yang ada di kepalaku saat ini. Semua kenangan itu seolah berebut keluar untuk diungkit, untuk diingat, untuk kembali nyata. 

Empat tahun bahkan belum cukup untuk meruntuhkan rasa itu. 

Cinta pertama, kapan matinya? 


-C-
8:58 PM
14/9

Sabtu, 30 Mei 2015

Adegan Favorit di Novel KISMET (#KismetGoodieBag)

Adegan ulang tahun. 

Gokil. 

Satu kata yang paling pas menurutku. Waktu baca adegan ini, bener-bener sukses dibikin ngakak. Entah di mana bagian yang lucu, tapi, ya, aku ngakak aja sendiri. Bayangin polosnya muka Alisya waktu bilang "Oh..." terus Cia-nya bengong. Terus tiba-tiba Cia heboh gitu. HAHA. Gemesh. :3 

Dan, bagian ini ada "sensasi"nya tersendiri. Sebagai pembaca, aku merasa dapet banget feel-nya bagian ini. Jadi, kerasa banget gitu. Dari yang Cia dan Al ketemu nggak sengaja (di sini masih penasaran gimana mereka selanjutnya), terus perang dingin (mulai deg-degan...), terus memutuskan untuk akur (oke, nice), terus tiba-tiba... ULTAHNYA BEDA SEHARI... OH MY GOD OH MY GOD INI KISMET (ala Cia), wkwk. :3 

Sebenarnya ini bukan satu-satunya adegan yang aku suka, tapi berhubung ini adegan PERTAMA yang bikin aku langsung jatuh cinta sama persahabatan mereka—bikin gemes dan geregetan—jadi, aku nobatkan (ceileh) adegan ulang tahun sebagai adegan favoritku. Dan sampai sekarang, tiap lirik-lirik novel Kismet, adegan ini selalu kebayang di kepalaku, dan bikin aku mikir gini "kok bisa" "keren gila" "kok pas banget". Iya, pas ba-nget. Bayangin aja, mereka ketemunya tiba-tiba tapi langsung cocok, terus ultahnya 'sebelahan'. Apalagi coba namanya ini kalau bukan KISMET? :]

#KismetGoodieBag

Minggu, 17 Mei 2015

Kata Hati - #6




Desir angin memainkan anak rambutku yang tidak ikut terikat karet rambut yang kupakai. Bukan salah anak rambutku, tetapi sepoi angin di tempat sepi inilah tersangkanya. Butuh tiga puluh menit untukku tiba di tempat ini. Aku selalu pergi ke tempat ini saat merasa lelah. Sebuah bangku karat di ujung taman kota adalah tempat kesukaanku. Dan saat ini, sungguh aku lelah. Berdiam diri di sudut ini, membuatku sedikit lebih tenang, memang. Namun, tidak sepenuhnya membuatku lupa dengan...
            “Ngapain kamu di sini?” Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Suara terlembut―setelah suara ibuku―yang pernah aku dengar. “Merasa bosan dengan dunia, hm?”
            Aku sebenarnya sudah tidak asing dengan suara itu. Saat aku berada dalam masa-masa tersulit dalam hidupku, dia selalu muncul dimanapun aku berada. Awalnya aku takut, tapi perlahan aku yakin bahwa dia baik.
            Aku meliriknya sekilas. Dia masih sama seperti pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Rambut panjang lurusnya tergerai bebas yang mirip sekali dengan rambutku saat digerai. Pakaiannya pun itu-itu saja; kemeja putih polos berlengan panjang yang sedikit kebesaran dan celana bahan dengan warna yang sama. Pertemuan pertama kami dulu di atas batu karang di pantai, dengan pakaian yang sama, orang aneh ini menjadi pendengar yang baik untukku.
            “Apa kamu terlalu sibuk mengurus urusan orang sampai-sampai tidak pernah berganti baju?”
            “Hm, mungkin,” dia menggumam, “namun setidaknya aku tidak pernah mengganti baju berkali-kali saat akan pergi ke suatu tempat.”
            “Heh, menyindir?”
            Dia tertawa pelan.
            Kemudian hening memisahkan aku dan dia. Angin sepoi kembali terasa menyejukkanku. Dan disaat bersamaan, membuatku teringat padanya.
            “Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” tanyanya. Aku tidak kaget jika dia tiba-tiba bisa membaca pikiranku, kurasa dia memang memiliki kemampuan itu. “Bahkan kamu sendiri tidak tahu apa yang kauinginkan, gadis bodoh.”
            “Itu berarti kamu tidak pantas duduk di sebelahku yang seorang gadis bodoh,” ucapku tanpa mengalihkan pandanganku yang sejak tadi lurus ke depan.
            Dia terkekeh. “Jika aku yang tidak pernah berganti baju ini tidak pantas duduk di dekat seorang gadis bodoh sepertimu, bagaimana mungkin kamu jatuh cinta kepada lelaki baik seperti dia? Apa sebagai seorang gadis bodoh sepertimu pantas dengannya?”
            “Apa maksudmu?”
            “Kau sudah bodoh, jangan berlagak lebih bodoh.”
            Sekarang aku yang tertawa. “Setidaknya dengan menjadi bodoh, aku bisa membuat orang-orang bahagia karena kebodohanku.”
            “Dan membuat orang-orang tidak mengetahui kesedihanmu,” dia melanjutkan ucapanku.
            Nggak penting,” sahutku ketus.
            Dia mengangguk-ngangguk. “Lantas, apa sebenarnya yang kamu inginkan?”
            “Kenapa kamu selalu menanyakan itu?” Aku mulai gerah dengan pertanyaannya.
            “Kenapa untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu saja kamu tidak mampu, hm?”
            Aku menarik napas panjang. Berusaha menghilangkan sesak yang tiba-tiba kurasakan. “Aku hanya ingin....”
            “...dia tidak pergi,” dia menyambung ucapanku. Kemudian tertawa pelan. “Sebenarnya aku sudah mengetahui. Hanya saja aku ingin kamu mengucapkannya sendiri.”
            Aku diam saja.
            “Yang kamu inginkan sebenarnya adalah dia agar tidak pergi. Sehingga kamu berusaha membuat dirimu terikat dalam suatu hubungan dengannya. Kamu berusaha membuat dia kembali memiliki perasaan seperti dulu kepadamu.” Dia menggulung kemeja putih panjangnya sampai sesiku. Lantas melanjutkan, “kamu kira semudah itu? Mengembalikan perasaan yang sudah dikuburnya dalam-dalam... cih, dasar kamu gadis bodoh... dan egois.”
            “Aku terlalu malas untuk berdebat denganmu,” balasku.
            “Mana mungkin kamu bisa mendebatku jika semua yang aku katakan adalah fakta,” katanya, “fakta yang selalu kamu hindari, gadis bodoh yang egois.”
            “Katakan apa yang ingin kamu katakan, aku tidak akan menangis kok,” ucapku, malas.
            “Tentu kamu tidak akan menangis, karena yang mampu membuat seorang gadis bodoh dan egois sepertimu itu menangis hanya sebuah pengabaian dan rasa penyesalan karena pernah menyianyiakan ketulusan seseorang.”
            “Hm,” aku menunduk. Hanya membalasnya dengan gumaman.
            “Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap.... dia tetap akan pergi,” ucapnya memancing keresahanku. “Semua ini salahmu sudah menyianyiakan dia dulu. Jika sekarang dia pergi, meski kamu berusaha menahannya, itu semua akan percuma. Semua akan sia-sia. Perasaannya sudah kamu hancurkan dulu. Yang sudah rusak, akan sulit kembali seperti dulu lagi.”
            “Apa kamu pernah membaca buku Rectoverso karya Dee Lestari? Ada satu kutipan yang cocok untuk dirimu,” kataku datar.
            Ia menggeleng. “Apa?”
            “Kita bukan malaikat yang bisa mengetahui perasaan orang lain.”
            “Tentu..., kamu pun bukan malaikat...,” ucapnya menggantung, “yang dapat mengatakan bahwa lelaki itu tidak menyayangimu lagi hanya karena perkara pesan singkat yang diabaikan. Bagaimana mungkin kamu mengukur kesetiaan seseorang dari sebuah pesan singkat?”
            “Maksudmu apa? Tadi kamu berkata seolah-olah dia sudah tidak menginginkan aku lagi, tetapi sekarang kamu menyalahkan aku atas dugaanku tentang dia...,” aku menggeleng heran, “lagipula kamu tahu darimana soal semua masalahku ini?”
            “Kamu selalu menghindariku setiap kali berada dalam kebimbangan. Cinta bukan perkara satu tambah satu yang bisa kamu kerjakan dengan logika. Andai dulu kamu mendengarkanku, bukan logika jeniusmu itu, maka saat ini kamu tidak akan seperti ini,” suaranya berubah serius, “kamu mempercayakan sepenuhnya pilihan hidupmu dengan berpikir. Bukan merasakan.”
            “Apa maksudmu? Mendengarkanmu? Dulu? Ini bahkan merupakan kali pertama aku berbagi masalah tentang lelaki ini padamu...,” aku kembali menggeleng, lantas menghadapnya dan berkata, “siapa kamu sebenarnya? Kenapa juga aku harus mengikuti katamu?”
            “Gadis bodoh yang egois, sebenarnya kauhanya bodoh saja jikalau mau mendengarkan apa yang aku katakan. Jangan melawan aku,” katanya lagi.
            “Siapa kamu? Kaubahkan bukan ibuku.”
            “Aku lebih dari ibumu, gadis bodoh yang egois.”
            Aku mengernyit. “Siapa kamu?”
            Dia tersenyum. “Dengarkan aku sekali lagi gadis bodoh, berhentilah menjadi egois,” ucapnya pelan, lalu melanjutkan, “waktu akan terus berjalan tanpa peduli meski kauberusaha menahannya. Dia pasti akan tetap pergi apapun yang terjadi. Kita bukan malaikat tentunya, jadi tidak bisa menebak apa isi hati lelaki pujaanmu itu. Tapi kita bisa membuat lelaki itu tetap menjadi milikmu kalau kaumau mendengar apa yang kukatakan. Meski tanpa jaminan bahwa dia akan menerimamu setelah semua yang kamu lakukan padanya, namun aku berani menjamin, bahwa dia cukup baik untuk gadis sebodoh dan egois sepertimu,” dia terdiam sesaat, “kembali selagi ada waktu. Dia baik..., tunjukkan bahwa kamu pantas untuknya. Dia tidak akan benar-benar pergi jika kamu tidak benar-benar melepasnya. Dibanding sahabat-sahabatmu, ucapanku mungkin tidak seratus persen benar, tetapi dengan menjalankan apa yang kukatakan, hidupmu setidaknya akan lebih lega, tidak ada yang tertahan.” 
            “Kenapa kamu berkata seakan itu semua sebegitu mudahnya, hah? Kamu tidak pernah memikirkan―”
            “Kauterlalu banyak berpikir. Cinta itu buta akan logika. Selama semua ini tidak menyakiti pihak manapun, lakukan saja. Apa lagi yang kamu pikirkan? Gengsi? Cih, dasar egois.”
            Aku tidak mampu lagi menahan sakit di dadaku. Air mataku tumpah begitu saja.
            “Kenapa serumit ini? Aku hanya ingin dia tetap di sini dan mengetahui perasaanku...,” lirihku.
            “Apanya yang rumit? Gengsimu membuat semua menjadi terasa rumit. Kauingin dia mengetahui perasaanmu tanpa kamu mengungkapkannya? Kaukira dia malaikat?”
            Habis kata-kataku melawannya. Nyaris semua yang dia katakan adalah kebenaran yang aku hindari.
            “Ya, kamu menghindariku, gadis bodoh. Aku tidak akan memanggilmu egois lagi jika kaumau berhenti mencari pembenaran. Kebenaran, itu yang perlu kamu temukan, bukan pembenaran atas semua perbuatanmu. Temukan kebenaran itu di sini,” ia menyentuh dada kirinya, “kejar dia sebelum pergi lagi. Jangan meminta agar kau dikejar saja. Jangan egois, gadis bodoh.”
            Ia beranjak dari duduknya.
            “Jadi, siapa kamu?”
            Langkahnya tertahan. “Jangan menghindariku terus menerus, ikuti kataku. Aku adalah kamu.”
            Aku menatap arah lain, lalu kembali menoleh ke arah dimana dia ber...
            Dia menghilang.
            Kebiasaannya yang aku benci.
            Tiba-tiba seorang penjaja minuman menghampiriku. “Mau minum, mbak?”
            “Air mineralnya satu,” ucapku sambil tersenyum.
            Dia menyerahkanku sebotol minuman. “Mbak, betah banget sih daritadi bengong di sini... sendirian pula.”
            Ucapannya membuatku tercengang.
            Lalu si orang aneh penuh nasehat itu siapa?
            “Daritadi saya liatin mbak dari sana,” dia menunjuk sebuah tempat rindang di bawah pohon yang tak jauh dari tempatku, “muka mbak kayak orang lagi bertengkar. Mbak banyak masalah, ya? Kalau iya, berdebat sama diri sendiri itu wajar kok... ikutin aja kata hati,” kata pedagang minuman ini sambil menyerahkan kembalian. “Saya permisi, mbak.”
            Aku menatap punggungnya yang berjalan menuju segerombol orang dewasa yang sedari tadi memanggilnya. Apa yang dia katakan tadi?
            Aku berdebat dengan diri sendiri? Jadi, orang aneh tadi itu setan? Atau sejenis iblis baik hati?
            Aku menggeleng pelan. Mungkin sudah saatnya aku pulang.
            Jangan lupa, kejar dia, jika kamu tidak ingin dia pergi.
            Suara orang aneh itu terdengar lagi. Tapi dia tidak nampak ada.
            Jangan terus menghindariku. Aku adalah kamu. Aku adalah yang sering kamu hindari karena logikamu itu, gadis bodoh yang masih saja egois.
**
-C-

Lantas, apa? - #5

Kata-kataku seolah habis untuk melukiskan apa yang kurasa kini.
Air mata pun terasa mengering, karena tak setetes pun ia terjatuh.
Hatiku seperti telah mati, tak ada lagi rasa takut kehilanganmu.
Tapi hanya satu, yang masih, dan membuatku tidak bisa tidur; sakit. Entah di bagian mana, aku merasa sakit. Menyadari semua berubah dalam satu kedipan mata.

Rasa sakit yang sangat sederhana. Sesederhana pesan singkat yang diabaikan. Sesederhana perasaanku yang tak terbalaskan. Sesederhana kamu yang hilang begitu saja.

Aku mengatakan bahwa aku memiliki kehidupan sendiri, pun kamu juga tentu memilikinya. Hingga tak seharusnya aku marah hanya karena hal sesederhana pesan singkat yang hanya dibaca saja. Mungkin kamu sibuk, kan?

Tapi terlepas dari semua itu, ada satu hal yang membuatku merasa tergelitik sekaligus menyakitkan dalam satu waktu; status.

Siapa kita? Siapa aku? Siapa kamu?

Kita bahkan tak memiliki status kejelasan. Kamu yang sadar aku menyayangimu, sebaliknya aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu—apalagi perasaanmu.

Lantas, apa yang bisa kuharapkan dari sebuah hubungan tanpa status dan kejelasan?

9:40 PM
17/5/15